Oleh :
Imawan qoidi arif
Dalam sebuah situs di internet, orang- orang kafir berteriak-teriak menyerukan kepada kaum
muslimin untuk membuktikan kalau islam adalah agama yang memiliki toleransi
terhadap agama yang lain, mereka merasa bahwa agama mereka hanya mendapatkan
tindasan dan tidak merasakan rahmat yang telah menjadi slogan umat islam.
“Kalian muslim selalu mengagung-agungkan bahwa Islam
agama yang diridhoi disisi Awloh adalah RAHMATAN
LIL ALAMIN! Tunjukin sama kami
non-muslim... Sejak Islam dibawa Muhammad sampai sekarang kapan Islam
pernah menjadi
RAHMATAN LIL ALAMIN??? Kapan??? Kapan??? Islam
hanya membawa kesengsaraan dan kematian! Saya sudah benar-benar muak dengan perbuatan-perbuatan jahat dan keji kalian
atas nama tuhan dan agama yang
sebagian dari kalian
tutup-tutupi dengan taqqiya bahwa Islam
agama damai!”[1]
Bukan hanya dari kalangan orang - orang kafir
saja yang mengangap islam radikal, bahkan yang lebih mengesankan lagi adalah
ucapan itu keluar dari kaum muslimin sendiri, tidak ada yang mesti kita
salahkan dan tidak ada yang bisa kita benarkan, karena memang sikap ghulu
terhadap agama masih mengakar dalam diri kaum muslimin sendiri dan pemahaman yang setengah-setengah dan dangkal
terhadap agama, itu semua menjadikan
mereka salah kaprah dalam tingkah, terutama yang banyak disoroti oleh kaum
muslimin awam tentang sikap FPI (forum pembela islam) dalam menegakkan amar
ma’ruf nahi munkar.
Masyarakat memandang apa yang mereka lakukan
adalah merupakan kebiadaban dan ketidak berprikemanusiaan, bagaimana tidak ?
apa yang mereka lakukan dengan mengobrak-abrik, memukul, teriak. Menjadikan
anggapan masyarakat menjadi miring dan berubah, justru apa yang mereka lakukan
adalah bentuk kriminalitas bahkan lebih parah lagi.
Sesuatu yang baik akan menjadi buruk jika
tidak sesuai dengan adab yang sopan dan norma- norma islam dengan disertai
dengan keikhlasan yang tulus, layaknya shodaqoh, ia akan menjadi suatu yang
sia-sia jika diiringi dengan mengungkit-ungkit dan menyakiti, begitu juga
dengan rambu-rambu yang perlu diperhatikan dalam amar ma’ruf nahi munkar
meskipun kemaslahatan yang akan didapatkan sangat bermanfaat bagi kaum muslimin
justru akan berubah menjadi suatu kemadharatan jika tidak memperhatikan adab
dan rambu-rambu yang ada. Sehingga islam akan bisa diterima dari berbagai
kalangan masyarakat baik dalam masalah yang sifatnya mengunakan kekerasan maupun
kelembutan terutama dalam perkara wala’ dan bara’.
Dalam diskursus ini akan fokus pada pembuktian bahwa islam adalah
agama yang penuh rahmat dan kasih sayang terhadap sesama bahkan kepada seluruh
makhluk didunia ini, serta membantah akan subhat yang terjadi dikalangan kaum
muslimin yang menganggap bahwa islam adalah agama yang radikal dan tidak memiliki
sifat prikemanusiaan terhadap orang-orang kafir.
Islam Rahmatan Lil Alamin
Islam telah mengajarkan kepada kita bagaimana
cara kita dalam menghadapi berbagai hal, baik dalam melakukan hal yang kecil
maupun yang besar, Islam adalah agama yang penuh dengan rahmat, toleransi dan
penuh dengan kemudahan dan Ini adalah merupakan keistimewaan yang khusus
diberikan kepada Islam, berbeda halnya
dengan agama-agama yang lain yang memiliki beban yang sangat berat lantaran
tabiat mereka yang durhaka, ragu dan banyak bertanya. Oleh karena itu Allah berikan kepada mereka hukum-hukum yang berat
sebagai balasan atas sifat mereka.[2]
Makna Islam Rahmatan Lil Alamin
Menurut bahasa kata rahmat berasal dari kata
(rahima- yarhamu) yang artinya nikmat atau kebaikan seperti dalam firman Allah
ta’ala, (واذا أذقنا الناس رحمة من بعد ضراء مستهم) yang artinya “Dan apabila kami merasakan kepada manusia
suatu rahmat, sesudah (datangnya) bahaya menimpa mereka,” [3]
Sedangkan menurut syara’ seperti yang dikatakan oleh murid Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah dalam menafsirkan ayat,
وما
أرسلناك الا رحمة للعالمين (الانبياء : 107)
“Dan kami tidak mengutusmu kecuali untuk
memberikan rahmat bagi semesta alam”
Ibnu Qayyim Al
Jauziyyah dalam Tafsir Ibnul Qayyim:
“Pendapat yang
lebih benar dalam menafsirkan ayat ini adalah bahwa rahmat disini bersifat
umum. Dalam masalah ini, terdapat dua penafsiran:
Pertama: Alam semesta secara umum mendapat manfaat
dengan diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam.
Orang
yang mengikuti beliau, dapat meraih kemuliaan di dunia dan akhirat sekaligus.
Orang kafir yang memerangi beliau, manfaat yang
mereka dapatkan adalah disegerakannya pembunuhan dan maut bagi mereka, itu
lebih baik bagi mereka. Karena hidup mereka hanya akan menambah kepedihan adzab
kelak di akhirat. Kebinasaan telah ditetapkan bagi mereka. Sehingga,
dipercepatnya ajal lebih bermanfaat bagi mereka daripada hidup menetap dalam
kekafiran.
Orang kafir yang terikat perjanjian dengan
beliau, manfaat bagi mereka adalah dibiarkan hidup didunia dalam perlindungan
dan perjanjian. Mereka ini lebih sedikit keburukannya daripada orang kafir yang
memerangi Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa sallam.
Orang munafik, yang menampakkan iman secara
zhahir saja, mereka mendapat manfaat berupa terjaganya darah, harta, keluarga
dan kehormatan mereka. Mereka pun diperlakukan sebagaimana kaum muslimin yang
lain dalam hukum waris dan hukum yang lain.
Dan pada umat manusia setelah beliau diutus,
Allah Ta’ala tidak memberikan adzab yang menyeluruh dari umat manusia di
bumi.Kesimpulannya, semua manusia mendapat manfaat dari diutusnya Nabi Shallallahu
‘alaihi Wa sallam.
Kedua: Islam adalah rahmat bagi setiap manusia,
namun orang yang beriman menerima rahmat ini dan mendapatkan manfaat di dunia
dan di akhirat. Sedangkan orang kafir menolaknya.Sehingga bagi orang kafir,
Islam tetap dikatakan rahmat bagi mereka, namun mereka enggan
menerima.Sebagaimana jika dikatakan ‘Ini adalah obat bagi si fulan yang sakit’.
Andaikan fulan tidak meminumnya, obat tersebut tetaplah dikatakan obat”[4]
Muhammad
bin Ali Asy Syaukani dalam Fathul Qadir:
“Makna
ayat ini adalah ‘Tidaklah Kami mengutusmu, wahai Muhammad, dengan membawa
hukum-hukum syariat, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh manusia tanpa ada
keadaan atau alasan khusus yang menjadi pengecualian’. Dengan kata lain,
‘satu-satunya alasan Kami mengutusmu, wahai Muhammad, adalah sebagai rahmat
yang luas. Karena kami mengutusmu dengan membawa sesuatu yang menjadi sebab
kebahagiaan di akhirat’
Diriwayatkan
dari ibnu abbas radhiallahu’anhu dalam menafsirkan ayat ini:
من آمن بالله
واليوم الآخر كتب له الرحمة في الدنيا والآخرة , ومن لم يؤمن بالله ورسوله عوفي
مما أصاب الأمم من الخسف والقذف
“Siapa
saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir, ditetapkan baginya rahmat di
dunia dan akhirat. Namun siapa saja yang tidak beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya, bentuk rahmat bagi mereka adalah dengan tidak ditimpa musibah yang
menimpa umat terdahulu, seperti mereka semua di tenggelamkan atau di terpa
gelombang besar”
Dalam
riwayat yang lain:
تمت الرحمة لمن
آمن به في الدنيا والآخرة , ومن لم يؤمن به عوفي مما أصاب الأمم قبل
“Rahmat
yang sempurna di dunia dan akhirat bagi orang-orang yang beriman kepada
Rasulullah. Sedangkan bagi orang-orang yang enggan beriman, bentuk rahmat bagi
mereka adalah dengan tidak ditimpa musibah yang menimpa umat terdahulu”[5]
Dari
Abu Huroiroh radhiyallahuanhu dari Nabi sallallahu alaihi wasalam,
من لا يرحم لا يرحم (رواه البخاري)
“Barang siapa yang tidak menyayangi maka ia
tidak akan disayangi”
Dalam hadits ini Ibnu Bathol memberikan komentar dalam kitab fathul
bari, beliau berkata : Didalam hadits ini mengandung ajakan untuk saling
berkasih sayang terhadap seluruh makhluk, baik itu kepada mukmin, kafir, dan
binatang baik budah maupun merdeka.[6]
Said
bin Jubair berkata: dari Ibnu Abbas, beliau berkata:
كان محمد صلى
الله عليه وسلم رحمة لجميع الناس فمن آمن به وصدق به سعد , ومن لم يؤمن به سلم مما
لحق الأمم من الخسف والغرق
“Muhammad
Shallallahu ‘alaihi Wa sallam adalah rahmat bagi seluruh manusia. Bagi yang
beriman dan membenarkan ajaran beliau, akan mendapat kebahagiaan. Bagi yang
tidak beriman kepada beliau, diselamatkan dari bencana yang menimpa umat
terdahulu berupa ditenggelamkan ke dalam bumi atau ditenggelamkan dengan air”
Ibnu
Zaid berkata:
أراد بالعالمين
المؤمنين خاص
“Yang
dimaksud ‘seluruh manusia’ dalam ayat ini adalah hanya orang-orang yang beriman”[7]
Dari pemaparan berbagai
hadits diatas menunjukkan bahwa islam memang diturunkan tiada lain adalah untuk
membawa rahmat kepada umat seluruh alam, kasih sayang yang mereka berikan tidak
semata mata kepada orang mukmin saja akan tetapi kepada orang kafirpun demikian
sehingga islam mengajarkan kepada kita bagaimana tata cara bergaul dan
menyikapi orang kafir yang meminta perlindungan kepada kaum muslimin.
Toleransi Islam Terhadap Orang Kafir (Dzimmy)
Tidak semua orang kafir mendapatkan perlakuan
yang keras, hanya mereka yang memerangi dan membenci kaum muslimin, islam
mengajarkan kepada kita bagaimana untuk bermuamalah kepada mereka yang telah
mengadakan perjanjian dan menyerahkan diri dengan membayar jizyah kepada kaum
muslimin. Begitu juga islam melarang untuk
berbuat dholim dan tidak adil terhadap mereka. Dan
mereka juga memiliki hak yang wajib kaum muslimin
penuhi.
Banyak ayat dan hadits yang menunjukkan larangan berbuat dholim dan
perintah untuk berbuat baik terhadap mereka,
Allah
berfirman,
وَلا تُجَادِلُوا أَهْلَ
الْكِتَابِ إِلا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِلا الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ
“Dan janganlah kamu berdebat denganAhli Kitab, melainkan dengan
cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka[8]”
{al ankabut : 46}
Imam Qurthubi berkata yang dimaksud ‘dengan cara
yang paling baik’ adalah berkata yang baik, menyeru mereka dengan ayat-ayat
Allah sebagai peringatan atas kilah mereka. Adapun yang dimaksud dengan ‘kecuali
orang-orang yang lalim’ adalah mereka yang menolak untuk membayar jizyah
dan mereka yang mengumumkan perang.[9]
Dan diriwayatkan dari Aisyah ia berkata : Suatu ketika
ada sekelompok orang Yahudi yang menemui Rasulallah saw, mereka berkata : Assamu
‘alaikum (kematian atas kalian), Aisyah berkata: Aku memahaminya, maka aku
menjawab: Wa a’laikumus saam wa la’nah (dan atas kalian kematian dan laknat), Aisyah
berkata: Rasulallah bersabda: tenang wahai Aisyah : Sesunguhnya Allah mencintai
berbuat lemah lembut dalam segala urusan. Aisyah berkata, wahai Rasulallah, apakah
engkau tidak mendengar apa yang mereka katakan? Rasulallah bersabda: Aku telah
menjawab : Wa alaikum. (Muttafaqun a’laih)
Ibnu Ishaq menyebutkan dalam peperanganya
bahwa ada seorang utusan orang nashroni Najron, ketika mereka mengutus kepada Rasulallah
saw mereka menemui Rasulallah di masjidnya setelah sholat Ashar. Maka ketika
waktu ibadah mereka hampir datang mereka berdiri dan mendirikan ibadah mereka
di masjid Rasulallah saw sehingga para sahabat pun merasa geram dan ingin
melarangnya, namun Nabi saw bersabda, biarkanlah mereka, menghadaplah kalian ke
arah timur kemudian mereka melakukan ibadah mereka di dalam masjid Rasulallah saw.[10]
Ibnu Qoyim menyimpulkan dari hadits diatas
bahwa diperbolehkan bagi ahlu kitab untuk masuk kedalam masjid kaum muslimin.[11]
Dari pemaparan hadits diatas islam memberikan
wasiat kepada para pemeluknya untuk bersikap lemah lembut terhadap mereka,
sebagaimana yang telah dicontohkan oleh beliau Nabi Muhammad dalam menjawab
salam dengan ungkapan yang baik meski mereka mengucapkan salam yang buruk
bahkan membiarkan orang- orang yahudi untuk sholat dimasjid beliau. Sikap
toleransi islam terhadap orang-orang kafir (dzimy) ini tidak menafikan adanya
aqidah wala’ dan bara’ kaum muslimin akan tetapi karena memang islam diturunkan
ke alam semesta untuk memberikan rahmat dan kasih sayang kepada seluruh
makhlukNya.
Imam Al Qorofi berkata : Hendaklah kita
bersikap lemah lembut kepada mereka yang lemah, memenuhi kebutuhan faqir
mereka, memberikan makan kepada mereka yang kelaparan, memberikan pakaian
kepada mereka yang telanjang, dan berlemah lembut dalam tutur kata kepada
mereka, mendoakan hidayah akan turun kepada mereka, menasehati dalam seluruh
urusan din dan dunia mereka, menjaga harta kehormatan dan hak-hak mereka, serta
membantu mereka ketika mereka didholimi. Demikianlah
wasiat islam terhadap orang-orang kafir yang tidak memerangi kaum muslimin[12]
Toleransi Dalam Praktik
Sejarah Islam
Fakta historis toleransi juga dapat ditunjukkan melalui Piagam
Madinah. Piagam ini adalah satu contoh mengenai prinsip kemerdekaan
beragama yang pernah dipraktikkan oleh Nabi Muhamad SAW di Madinah. Di antara butir-butir
yang menegaskan toleransi beragama adalah sikap saling menghormati di antara
agama yang ada dan tidak saling menyakiti serta saling melindungi anggota yang
terikat dalam Piagam Madinah.[13]
Begitu pula contoh toleransi yang pernah dilakukan
oleh Rasulallah terhadap utusan orang yahudi yang ingin menemui beliau di saat
usai melaksanakan shalat ashar di dalam masjid nabawi, ketika mereka hendak
menemui Rasulallah saw. Tiba-tiba mereka ingin melaksanakan ibadah mereka
lantaran waktunya telah tiba. Akhirnya mereka ingin mendirikannya didalam
masjid Rasulallah, para sahabat merasa marah namun beliau mencoba mencegah dan
menyuruh kepada para utusan menghadap ketimur untuk melaksakan ibadah mereka.[14]
Lebih lanjut kesaksian seorang Yahudi bernama Max I. Dimon menyatakan bahwa
“Salah satu akibat dari toleransi Islam adalah bebasnya orang-orang Yahudi
berpindah dan mengambil manfaat dengan menempatkan diri mereka di seluruh
pelosok Empirium Islam yang amat besar itu. Lainnya ialah bahwa mereka dapat
mencari penghidupan dalam cara apapun yang mereka pilih, karena tidak ada
profesi yang dilarang bagi mereka, juga tak ada keahlian khusus yang diserahkan
kepada mereka”. [15]
Syubhat
1.
Jika ada yang mengatakan : Bagaimana mungkin
islam bisa dikatakan sebagai rahmat bagi seluruh alam padahal dalam nash
sendiri Allah ta’ala berfirman
مُحَمَّدٌ
رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ
بَيْنَهُمْ
“Muhammad itu adalah
utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan Dia adalah keras terhadap
orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. (al-fath : 29)”
Allah telah mensifati Muhammad dan para
sahabatnya bahwa mereka bersifat keras terhadap kaum kafirin dan berbuat kasar
terhadap mereka dan ini semua menafikan adanya sifat rahmat yang ada pada Islam
?
Jawab : Jika kita melihat secara dhohir ayat
tersebut maka benar, Islam memiliki sifat keras terhadap mereka karena memang Islam
mengajarkan aqidah wala’ dan bara’ namun perlu di perhatikan, bahwasanya kepada
siapakah sikap keras itu ditujukan?. Islam mengajarkan bagaimana cara
bermuamalah dengan orang-orang kafir dengan baik, karena memang islam adalah
agama yang memiliki toleransi terhadap agama yang lain. Tidak semua orang kafir
mendapatkan sikap keras oleh Islam hanya orang -orang yang memerangi islamlah
yang mendapatkan sikap tersebut meskipun ia adalah seorang muslim, jadi perlu
adanya keterangan lebih lanjut dari ayat tersebut sebagaimana yang tercantum
dalam surat Al-Mumtahanah ayat 7,8,9
yang artinya,
“Mudah-mudahan Allah
menimbulkan kasih sayang antaramu dengan orang-orang yang kamu musuhi di antara
mereka.Dan Allah adalah Maha Kuasa.Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil
terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula)
mengusir kamu dari negerimu.Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu
orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu
dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barang siapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka
mereka itulah orang-orang yang lalim.”
Dalam
ayat ini menjelaskan kepada kita bahwa barang siapa yang menampakkan permusuhan
dan menyembunyikan keburukan terhadap kaum muslimin, maka hendaklah kaum
muslimin keras terhadap mereka, sedangkan mengambil sikap terhadap orang-orang
kafir adalah kepada mereka yang memiliki sifat yang tercantum dalam ayat yang
ke Sembilan. Serta berlemah lembut terhadap
orang- orang kafir yang menampakkan simpati terhadap kaum muslimin seperti
kafir dzimy dan musta’min.[16]
2. Jika ada yang mengatakan : Kalau memang disebutkan banyak ayat dan
hadits tentang larangan untuk berbuat tidak adil ataupun berbuat kekerasan
kepada orang-orang kafir maka bagaimana dengan ayat –ayat peperangan yang
nampak sekali kontradiksi didalamnya?
Sebagaimana Allah berfirman,
Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula)
kepada hari Kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh
Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (Yaitu
orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar
jizyah[17]dengan
patuh sedang mereka dalam Keadaan tunduk. [18]
Yang menjadi syahid dalam ayat ini
adalah “sehinga mereka memberikan jizyah sedang mereka hina” Yang mana telah terdapat penafsiran
diantaranya adalah,
1.
Orang-orang dzimy ketika membayar jizyah wajib berdiri dan bagi kaum
muslimin yang mengambilnya hendaklah untuk duduk
2.
Ketika hendak menyerahkan jizyah maka kafir dzimy harus berjalan
kaki dan tidak boleh menaiki kendaraan serta menyerahkan dari bawah yang
kemudian diambil dari atas oleh kaum muslimin.
3. Leher
mereka yang menunduk[19]
Jawab :
Jika kita fikir, kita tidak akan mendapati hal tersebut pada masa Rasulallah
saw. Itu semua adalah perkataan yang tidak ada landasan sama sekali sebagaimana
yang dikatakan oleh Ibnu Qoyim dan tidak ada pula hadits dari Rasulallah serta
dari para sahabat bahwa mereka melakukan hal tersebut, dan penafsiran yang
benar adalah makna dari pada shigor adalah mereka melazimi apa yang
menjadi ketetapan Islam dan mereka membayar jizyah. Jika mereka melazimi
demikian maka itulah yang dimaksud dengan kata Ash-Shighor.[20]
3.
Jika
ada yang mengatakan : Begitu juga dengan riwayat Imam Muslim dari Abu Huroiroh bahwa
Rasulallah saw bersabda : “Janganlah kalian memulai salam kepada orang-orang Yahudi
dan Nashroni jika engkau bertemu kepada salah seorang diantara mereka di jalan
maka sudutkanlah mereka” (shohih muslim)
Dari hadits diatas akan timbul dua permasalahan
a.
Larangan
untuk memulai salam
Ini adalah masalah khilafiyah yang telah masyhur dikalangan para
ulama’, Imam Nawawi memaparkan hal ini, ada yang mengatakan bahwa hukumnya
adalah haram, makruh, mubah, dan pendapat yang terakhir adalah tidak di
perkenankan untuk salam kecuali dalam kondisi yang dhorurot maupun karena
kebutuhan dan sebab. Dan menurut kebanyakan para ulama pendapat yang paling
rojih adalah haram.
Dari sini telah jelaslah bahwa sikap ini sangat bertentangan sekali
dengan wasiat Islam atau apa yang telah menjadi statemen islam bahwasanya Islam
memiliki sikap lemah lembut dengan orang-orang kafir.
Jawab : Islam mengajarkan kepada pemeluknya untuk senantiasa
menjawab salam kepada siapa saja, baik itu orang islam sendiri maupun orang
kafir, hanya saja berbeda dalam cara ataupun sifat dalam menjawab salam, tergantung
pada situasi dan kondisi, jika seorang muslim ragu dalam menjawab salam dari
orang kafir maka hendaklah ia mengucapkan : Wa’alaikum, dan jika orang kafir
mengucapkan salam dengan cara sempurna maka hendaklah menjawab dengan sempurna
seperti : wa’alaikumus salam.
b. Menyudutkan orang yahudi ketika bertemu dijalan
Dalam hal ini menunjukkan akan kemuliaan orang islam dan
kehinaan orang kafir, seorang muslim tidak menunjukkan kepada orang kafir akan
sifat kasih sayangnya terhadap mereka, mereka mendapatkan hak yang luas
sedangkan orang kafir hanya mendapatkan hak jalan yang sempit dan ini bukanlah
bentuk dari pada rahmat.
Jawab
: Iman Al -Qurthubi mengomentari hadits
yang di jelaskan oleh Ibnu Hajar, makna dari hadits diatas adalah janganlah
kalian mempersempit jalan mereka adalah sebagai bentuk kemuliaan dan kehormatan
bagi mereka, dan bukanlah makna dari hadits tersebut adalah jika engkau bertemu
dengan mereka dijalan yang luas maka persempitlah ia sampai kepinggir jalan
sehinga mereka mendapatkan jalan yang sempit ini adalah bentuk ketidak adilan
terhadap mereka, dan hal ini tidak pernah islam mengajarkannya maka makna dari
pada persempitlah adalah janganlah menyakiti mereka.[21]
Jihad adalah syareat yang sangat urgen dalam
agama islam ini, yang mana kedudukan jihad sendiri adalah sebagai
dzirwatu sanam Islam dan puncak keimanan artinya syareat jihad memiliki
peranan penting dalam islam jika ditinjau baik dari segi kemaslahatan maupun
dari segi menolak kemadhorotan.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam al Izz
bin Abdi Salam, "Setiap syariat pasti memiliki maslahat baik itu dengan
menolak kerusakan atau pun mendatangkan kemaslahatan"[22]
Karena setiap syariat yang Allah berikan atau
yang Allah syariatkan kepada hamba-Nya adalah pasti memiliki nilai maslahat,
baik itu bersifat riil maupun tidak, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam
Al-Qorofi, "Setiap tempat (baca syariat) yang tidak kita ketahui letak
kemaslahatannya maka kita katakan didalamnya : pasti ada sebuah maslahat dan
hanya kita saja yang belum mengetahuinya."[23]
Oleh karena itu perlunya adanya syariat jihad
adalah demi melestarikan atau menjaga diin ini, menyelamatkan orang-orang lemah
dan mengeluarkan manusia dari peribadatan terhadap hamba kepada peribadatan
kepada Rabb semesta alam.[24]
Allah ta'ala
berfirman,
وَلَوْلا دَفْعُ اللَّهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَهُدِّمَتْ
صَوَامِعُ وَبِيَعٌ وَصَلَوَاتٌ وَمَسَاجِدُ يُذْكَرُ فِيهَا اسْمُ اللَّهِ
كَثِيرًا وَلَيَنْصُرَنَّ اللَّهُ مَنْ يَنْصُرُهُ إِنَّ اللَّهَ لَقَوِيٌّ
عَزِيزٌ
Dan sekiranya Allah tiada menolak
(keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah
dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi
dan mesjid-mesjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong
(agama) -Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa. (Al hajj : 40)
Imam Qurtuby berkata: Andaikata Allah tidak
mensyariatkan jihad bagi para Nabi dan orang-orang beriman pastilah mereka
orang- orang musyrik akan menguasai segalanya dan akan menjadikan tandingan- tandingan
Robb di tempat-tempat ibadah kaum muslimin, akan tetapi dengan di
perintahkannya untuk membela diri dengan diwajibkannya jihad demi menjaga para
ahlu ibadah untuk beribadah oleh karena itu jihad merupakan telah disyariatkan
pada umat terdahulu dan dengan nya pula mampu memberikan kemaslahatan. [25]
Ayat diatas memberikan isyarat akan pastinya syariat
jihad yang menjadi sebuah pertahanan dan penjagaan dari orang- orang yang
menghalangi dari jalan Allah ta'ala dan mencegah mereka dalam memusuhi
kemurnian sebuah aqidah, kemerdekaan hamba, dan kemuliaan syiar-syiar islam sehingga
para ahlu ibadah mampu mengamalkan dan merealisasikan manhaj dalam hidup yang
di dasari dengan keyakinan terhadap Allah ta'ala, dan manusia mampu untuk
melakasanakan kebaikan di dunia maupun diakhirat.[26]
Kesimpulan
Tiada kekerasan dalam Islam, Islam datang dengan membawa rahmat
bagi semesta alam. Sungguh sebuah statemen yang tidak masuk akal jika
mengatakan bahwa Islam adalah agama yang radikal, padahal jikalau kita mau
membuka mata bagaimana suri tauladan kita yang telah memberikan contoh yang
begitu pekerti dalam bermuamalah. Demikianlah Islam yang seharusnya mereka
fahami dan amalkan. Kadang sesuatu yang baik tidak akan diterima oleh
masyarakat jika penyampaiannya tidak baik dan sesuatu yang buruk akan diterima
jika baik dalam penyampaiannya.
Semua golongan akan menerima islam yang begitu indah dan elok dalam
hubungan sosial, tiada kekerasan yang muncul kecuali mereka yang ingin
menghancurkan Islam, tiada hunusan pedang kecuali mereka yang ingin perangi Islam
oleh karena itu telah terdapat permisalah seorang muslim itu bagaikan madu yang
ia tidak akan menganggu selama tidak diaganngu dan ia akan selamanya memberikan
manfaat bagi seluruh makhluk di dunia ini dengan madunya yang manis dan
menyehatkan. Wallahua’lam bis showab.
[1]
Statemen
ini kami dapat dari sebuah situs http://indonesia.faithfreedom.org/forum/buktikan-islam-rahmatan-lil-alamin-t25689/
[2]
Istianah bi ghoiril muslimin hal 17
[3]
Mu’jamul wasith juz 1 hal 335
[4]
Tafsir ash-shoghir surat al anbiya’ ayat 107
[5]
Fathul qodir juz 3 hal 537
[6]
Fathu bari 10/493
[8]Yang dimaksud dengan orang-orang yang zalim
Ialah: orang-orang yang setelah diberikan kepadanya keterangan-keterangan dan
penjelasan-penjelasan dengan cara yang paling baik, mereka tetap membantah dan
membangkang dan tetap menyatakan permusuhan.
[9]
Tafsir ath-thobari 21/2,3
[10]
Thobaqot kubro ibnu sa’d 1/357
[11]
Zadul ma’ad 3/638
[12]
Al furuq, 3/15
[14]
Ibid
[15]Max I. Dimon, Jews, God, and History (New York: New
American Library, 1962), h. 194.
[16]
Istianah bi ghoiril muslimin hal 20,21
[17]Jizyah ialah pajak per kepala yang dipungut oleh
pemerintah Islam dari orang-orang yang bukan Islam, sebagai imbangan bagi
keamanan diri mereka.
[18]
(at-taubah: 29)
[19]
Ahkamul quran li ibnu aroby 2/910,911
[20]
Ahkamu ahlu dzimmah 1/23,24
[21]
Isti’anah hal 31
[22]
(maqosidusy-syariah
al islamiyah wa alaqotuha bil adilah asyariyah hal 57)
0 komentar:
Posting Komentar