PAHLAWAN QADISIYYAH, PEMBEBAS MADAIN, PEMADAM API SEMBAHAN PERSIA
“Diantara orang-orang Mu’min itu terdapat sejumlah laki-laki yang memenuhi janji-janji mereka kepada Allah. Diantara mereka ada yang telah memberikan nyawanya, sebagian yang lain sedang menunggu gilirannya.
Dan tak pernah mereka merubah pendiriannya sedikitpun juga...!” (Q.S. 33 Al-Ahzab : 23)
Sa’ad bin Abi Waqqas t adalah Sa’ad bin Malik Az-Zuhri. Abi Waqas adalah kunyah (sebutan) ayahandanya yakni Malik Az Zahri kakeknya Uhaib putera Manaf yang merupakan paman dari Aminah ibunda Rasulullah r, sehingga Beliau r sering memanggil “Paman” kepada Sa’ad t.
Sa’ad t masuk Islam pada usia 17 tahun, usia dimana darah muda dan nafsu hura-hura lazimnya mengalir pada diri setiap insan. Namun Hidayah Allah I menuntun Shahabat yang mulia ini mencapai posisi yang membuat seluruh kaum muslimin harus merasa iri dengannya. Sa’ad bin Abi Waqqas t termasuk Shahabat yang terdahulu masuk Islam setelah diyakinkan oleh Shahabat yang Mulia Abu Bakar As-Shiddiq t, tentang hal ini Sa’ad t pernah berkata : ”Pada suatu ketika saya memperoleh kesempatan termasuk tiga orang pertama yang masuk Islam”.
Banyak sekali keistimewaan yang dimiliki oleh Sa’ad t yang dapat ditonjolkan, namun ada dua hal yang selalu disyukuri dan dibanggakannya dimana tidak dimiliki oleh Shahabat-shahabat Rasulullah r yang lain. Pertama : Beliaulah yang mula-mula melepaskan anak panah dalam membela Agama Allah, beliau t berkata :” Demi Allah, sayalah orang pertama yang melepaskan anak panah di jalan Allah...”. Kedua : Beliau merupakan satu-satunya orang yang dijamin oleh Rasulullah r dengan jaminan kedua orang tua beliau. Dalam perang Uhud Rasulullah r membakar semangatnya dengan kalimatnya yang mulia : ”Panahlah hai Sa’ad. Ibu dan Bapakku menjadi jaminan bagimu...” Shahabat Ali bin Abi Thalib t menjadi saksi ketika beliau berkata: “Tidak pernah saya dengar Rasulullah r menyediakan ibu bapaknya sebagai jaminan seseorang, kecuali bagi Sa’ad bin Abi Waqqas...”
Ada cerita yang sangat menarik tentang keislaman Sa’ad bin Abi Waqqas t yang selalu diingat oleh Amirul Mukminin Umar bin Khattab t. Ketika ruh Islam mulai mengental dalam jiwa remaja Sa’ad t, ibundanya mencari daya upaya untuk mencegah keislamannya agar kembali ke pangkuan agama berhala. Dalam kondisi hampir putus asa ibunya memutuskan untuk mogok makan dan minum. Upaya ini dilakukan tak lain agar Sa’ad kembali ke jalan kemusyrikan. Sikap itu terus dilakukan ibunya Sa’ad dengan tekad yang sangat luar biasa hingga hampir menemui ajal. Melihat kondisi yang demikian gawat, beberapa orang keluarganya membawa Sa’ad yang masih sangat muda kehadapan ibundanya untuk kali yang terakhir dengan harapan hatinya akan menjadi lunak jika melihat ibundanya dalam sekarat. Melihat kondisi demikian, Sa’ad merasa sangat sedih, air mata mengalir tanpa terbendung, kondisi yang sangat mungkin menghancurkan baja dan meluluhkan batu karang. Namun keimanan dan kecintaannya yang sangat tinggi terhadap Allah I dan Rasulullah r jauh lebih kuat dari baja dan batu karang manapun juga. Didekapnya ibunda tercinta sebagai bukti cinta seorang anak terhadap ibundanya, dengan suara agak keras beliau berkata: “Wahai ibundaku..., Allah Maha Tahu tentang kecintaanku terhadap ibu, namun Demi Allah wahai ibunda... seandainya bunda mempunyai seratus nyawa, lalu ia keluar satu persatu, tidaklah ananda akan meninggalkan Agama Allah ini walau ditebus dengan apapun juga ...! maka sekarang terserah bunda, apakah akan makan atau tidak...!” Akhirnya ibundanya mundur teratur dan turunlah ayat yang memperkuat pendirian Sa’ad bin Abi Waqqas t : ”Dan seandainya kedua orangtua memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka jangan kamu ikuti keduanya.(Q.S.31: Luqman : 15)”.
Kepahlawanan dan keperkasaan Sa’ad bin Abi Waqqas mendapat tempatnya dalam perang Qadisiyyah dan pembebasan Madain Persia walau keharuman jiwa mujahidnya telah dimulai sejak perang Badar dimana beliau memutuskan untuk menjadi tameng (perisai) Baginda Rasulullah r dalam setiap peperangan membela Agama Allah I.
Pada masa pemerintahan Amirul Mukminin Umar bin Khattab t terjadi peristiwa yang cukup menyedihkan, datang berita secara beruntun tentang serangan licik yang dilancarkan oleh angkatan bersenjata Persi terhadap kaum Muslimin, ditambah lagi kekalahan yang menyakitkan dalam Perang Jembatan dimana empat ribu syuhada kaum Muslimin gugur di jalan Allah dalam sehari serta pengkhiatan terhadap perjanjian saling melindungi yang dilakukan oleh penduduk Iraq. Hal ini menyebabkan Khalifah Umar bin Khattab t memutuskan akan memimpin sendiri serangan penaklukan Persi. Setelah menyiapkan seluruh pasukan perang Amirul Mukminin t meninggalkan Madinah Ibukota Khilafah Islamiyyah, beliau mengangkat Ali bin Abi Thalib t sebagai wakilnya di Madinah. Belum jauh meninggalkan kota Madinah beberapa Shahabat -diprakarsai Abdurahman bin Auf t- memberikan nasehat, mereka melihat sangat riskan dalam kondisi kaum muslimin membutuhkan kepemimpinan yang kuat, lalu membiarkan Amirul Mukminin memimpin sendiri perang yang sangat berat dan jauh dari Madinah. Karena banyak shahabat Rasulullah r yang memberikan nasehat akhirnya Amirul Mu’minin memerintahkan Shalat dua raka’at, dan memanggil Ali bin Abi Thalib t. Setelah melalui musyawarah yang sangat alot akhirnya Amirul Mukminin t tunduk kepada keputusan syuro bahwa pimpinan perang harus diserahkan kepada panglima yang lain. Kondisi hening menyeliputi kaum mukminin karena harus memilih komandan perang yang betul-betul tangguh agar kemenangan yang Allah I janjikan bisa diraih. Di tengah suasana hening Abdurahman bin ‘Auf t berseru: “Saya telah menemukan orangnya”. “Siapa dia?” tanya Umar. Abdurahman t berkata: “Singa yang menyembunyikan kukunya, paman Rasulullah r, Sa’ad bin Malik A-Zuhri (Sa’ad bin Abi Waqqas)”. Semua shahabat Rasulullah r setuju dengan pendapat tersebut. Mereka sangat faham tentang keutamaan Sa’ad t dan jiwa kepemimpinan beliau. Ada beberapa hal yang membuat Shahabat Rasulullah r mendukung keputusan tersebut. Pertama : Do’a beliau terkenal maqbul berkat do’a Rasulullah r “Ya Allah, tepatkanlah bidikan panahnya dan kabulkanlah do’anya...”. Kedua : Beliau pemanah ulung yang tak pernah meleset dan pemimpin pasukan berkuda sejak perang Badar. Ketiga : Beliau seorang yang hati-hati dalam hal makan selalu memilih yang halal, lisannya selalu jujur, hatinya suci tak pernah hasad/dengki. Keempat : Kekuatan dan ketebalan imannya sejak usia remaja.
Melihat kondisi ini sangatlah pantas jika Amirul Mukminin t dengan hati tenang memancangkan panji-panji Qadisiyah ditangan kanannya untuk memerangi pasukan Persi yang jumlahnya tidak kurang dari seratus ribu prajurit terlatih dengan perlengkapan senjata dan benteng pertahanan yang paling ditakuti dunia waktu itu. Selain itu, mereka juga dipimpin oleh otak-otak ahli siasat perang yang paling jempol, cerdik dan licik. Kepada tentara musuh yang sangat menakutkan inilah Sa’ad bin Abi Waqqas t datang dengan membawa tidak lebih dari tiga puluh ribu mujahid, ,dengan hanya bermodalkan panah, pedang, tombak dan kuda perang. Namun demikian, dalam dada mereka menyala kemuliaan dari Agama Allah I, yang membuktikan keimanan, kehangatan serta kerinduan yang luar biasa terhadap mati syahid atau kemenangan Islam.
Sebagai bukti bahwa peperangan ini sangat penting bagi perjalanan Agama Allah I Amirul Mukminin Umar bin Khattab t tidak ingin tinggal diam, beliau meminta Sa’ad t menceritakan perkembangan waktu demi waktu kondisi kaum Muslimin dan musyrikin Persi. Beliau selalu mensupport dan memberikan arahan melalui kurir, setiap waktu terjadi komunikasi yang indah antara Amirul Mukminin t dengan pasukan di lapangan. Setiap ada perkembangan baru Umar t selalu musyawarah dengan Shahabat yang mulia di Madinah, dan Sa’ad sangat mensyukuri kondisi ini karena dia tahu Umar t tidak pernah memutuskan sendiri strategi perang, namun Amirul Mukminin melibatkan seluruh Shahabat Rasulullah yang Allah I telah ridho terhadap mereka. Hal ini memperkuat semangat pasukan karena mereka merasa seluruh kaum muslimin terlibat dalam peperangan ini.
Sebelum perang dimulai Sa’ad t, atas saran Umar t, mengirim utusan kepada Rustum panglima perang Persi untuk menyampaikan Agama Allah, utusan itu berkata :”Sesungguhnya Allah telah memilih kami untuk membebaskan hamba-hamba-Nya yang dikehedaki-Nya dari pemujaan berhala kepada penghambaan kepada Allah yang Maha Esa, dari kesempitan dunia kepada keluasannya, dan dari kezhaliman pihak penguasa kepada keadilan Islam...!”. ”Apa yang telah dijanjikan Allah itu?” tanya Rustum. “Syurga bagi kami yang mati syahid dan kemenangan bagi yang masih hidup...!”
Para utusan kembali kepada panglima pasukan Islam Sa’ad t dan menyampaikan bahwa tak ada pilihan selain perang. Mendengar itu air mata Sa’ad berlinang. Dia berharap andai pertempuran bisa dimajukan atau dimundurkan, bukan karena rasa takut, tapi ketika itu kondisinya sakit parah, bisul-bisul bertonjolan disekujur tubuhnya. Namun Shahabat Rasulullah r yang mulia tidak pernah diajarkan memakai kalimat seandainya, dalam kondisi apapun peperangan harus tetap jalan. Ketika itu bangkitlah “Singa yang menyembunyikan kukunya”, dia perintahkan seluruh pasukan shalat dua raka’at. Selesai sholat dengan perkasa dia berdiri : “Bismillahirrahmanir- rahim. Telah Kami cantumkan dalam Zabur setelah sebelumnya Kami catat dalam (Lauh Mahfuzh) peringatan bahwa: Bumi ini akan diwarisi oleh hamba-hamba-Ku yang sholeh...” (Q.S. 21. al-Anbiya’ : 105). Dengan suara lantang beliau berteriak : Allaahu Akbar...Allaahu Akbar.. Allaahu Akbar...Allaahu Akbar...Wahai tentara Allah, majulah dengan Barokah Allah”.
Semangat pasukan Islam benar-benar terbakar, alam pun gemuruh dan bergema dengan suara takbir, seluruh pasukan mengharapkan syahid atau kemenangan Agama Allah I. Sambil menanggung rasa sakit Sa’ad t naik ke anjung rumahnya yang merupakan markas komando, sambil telungkup diatas dada yang dialasi bantal, dia memberikan komando. Peperangan terjadi sangat sengit, inilah kali pertama mereka berhadapan dengan tentara gajah, namun atas izin Allah I kemenangan digapai pasukan Islam walau menyebabkan syahid ribuan pasukan Islam lainnya. Rustum terbunuh dan seluruh tentara kafir lari pontang-panting, masuk kedalam kota Madain dan bertahan di sana. Madain merupakan benteng terbesar mereka dan paling sulit ditaklukkan. Apalagi kondisi ketika itu banjir besar, untuk mencapai benteng harus melewati sungai yang besar serta dalam. Namun disinilah terbukti “Singa yang menyembunyikan kukunya” benar-benar layak disandangnya. Semalaman dia memimpin sebagian pasukan untuk sholat, bermunajat kepada Allah I, mereka berdo’a sampai datang pagi. Begitu fajar menyingsing beliau membagi pasukan menjadi dua kompi, satu “kompi sapu jagat” dibawah komando ‘Ashim bin ‘Amr, yang lain “kompi gerak cepat” dibawah komando Qa’qa bin ‘Amr. Satu kompi bertugas menerjuni bahaya sungai mencari jalan bagi pasukan inti, sementara yang lain menutup pergerakan pasukan musuh. Dengan izin Allah I mereka berhasil menyeberang sungai yang sangat dalam, deras, penuh bahaya, seakan-akan mereka berjalan didaratan. Seluruh pasukan takjub dengan kondisi tersebut hingga Sa’ad sendiri tidak percaya dengan fakta yang dilihatnya. Namun jika Allah I mau tak ada suatupun yang mustahil. Keberhasilan mereka menyeberang bahaya sungai merupakan isyarat bahwa mereka berhasil menaklukkan Madain tanpa kesulitan yang sangat berarti. Itulah gambaran shahabat mulia Sa’ad bin Abi Waqqas t, tidak akan pernah kering pena menuliskan perjalanan hidupnya yang menutup hayatnya dengan dikafani selembar kain yang dia pakai ketika perang Badar, bukan karena kemiskinan beliau melakukan demikian, karena beliau termasuk shahabat yang kaya, tapi itu dilakukankarena kecintaannya terhadap jihad fi sabilillah. Selamat jalan wahai Sa’ad ......
Semoga Allah mengumpulkan kami bersamamu dan kekasihmu Muhammad r, walaupun kami sadar bahwa kami sangat miskin pengorbanan dan sangat kurang layak untuk itu. Amien ya Robbal ‘Alamien.........
0 komentar:
Posting Komentar