Nama:
KH Achmad Hasyim Muzadi (KH Hasyim Muzadi) atau Abdul Hasyim Muzadi (KH Hasyim Muzadi).
Lahir:
Bangilan, Tuban, 8 Agustus 1944.
Status dalam keluarga:
Anak ketujuh dari delapan bersaudara.
Agama :
Islam
Ayah:
H. Muzadi, seorang pedagang tembakau yang juga santri Kiai Kholil Bangkalan, Madura.
Ibu:
Hj. Rumyati, seorang ibu rumah tangga, keturunan Kiai Mas'ud Saden, Lasem, Jawa Tengah.
Hj. Muthomimah atau Hj. Mutammimah
Anak:
Enam putra dan putri atau 6 Orang (3 Putra & 3 Putri)
Pendidikan:
- Madrasah Ibtidaiyah Tuban – Jawa Timur (1950-1953)
- SD Tuban – Jawa Timur (1954-1955)
- SMP I Tuban – Jawa Timur (1955-1956)
- KMI Gontor – Ponorogo – Jawa Timur (1956-1962)
- PP Senori – Tuban – Jawa Timur (1963)
- PP Lasem – Jawa Tengah (1963)
- IAIN Malang – Jawa Timur (1964-1969)
- Bahasa (1972-1982)
Kemampuan Bahasa:
- Indonesia
- Arab
- Inggris.
Perjalanan Pengalaman Organisasi dan Karier:
Perjalanan Pengalaman Organisasi:
- Ketua Ranting NU Bululawang – Malang (1964)
- Ketua Anak Cabang GP Ansor Bululawang – Malang (1965)
- Ketua Cabang PMII Malang (1966)
- Ketua KAMMI Malang (1966)
- Ketua Cabang GP Ansor Malang (1967-1971)
- Ketua GP Ansor Malang (1967-1971)
- Wakil Ketua PCNU Malang (1971-1973)
- Wakil Ketua PBNU Malang (1971-1973)
- Ketua PCNU Malang (1973-1977)
- Ketua DPC PPP Malang (1973-1977)
- Ketua PW GP Ansor Jawa Timur (1983-1987)
- Anggota DPRD Jatim (1984-1987)
- Ketua PP GP Ansor (1985-1987)
- Ketua PP GP Ansor (1985-1990)
- Ketua Ansor Jatim (1986)
- Anggota DPRD Tingkat II Malang – Jawa Timur
- Anggota DPRD Tingkat I Jawa Timur (1986-1987)
- Ketua PP GP Ansor (1987-1991)
- Sekretaris PWNU Jawa Timur (1987-1988)
- Wakil Ketua PWNU Jawa Timur (1988-1992)
- Wakil Ketua PWNU Jatim (1990-1992)
- Ketua PWNU Jawa Timur (1992-1999)
- Ketua Umum PBNU (1999-2004)
- Ketua Umum PBNU (sekarang)
Perjalanan Karier:
- Membuka Pesantren Al-Hikam di Jalan Cengger Ayam – Kodya Malang
- Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Malang
Jabatan Negara:
- Wakil Presiden RI, (Oktober 1999-23 Juli 2001)
- Presiden RI ke-5, (23 Juli 2001-2004)
Publikasi atau Karya Tulis:
- Membangun NU Pasca Gus Dur, Grasindo – Jakarta, 1999
- NU di Tengah Agenda Persoalan Bangsa, Logo, Jakarta, 1999
- Menyembuhkan Luka NU, Jakarta, Logos, 2002
Alamat:
- Rumah: Ponpes Mahasiswa Al-Hikam – Malang
- Kantor: PBNU Jalan Kramat Raya No. 168 Jakarta Pusat
SEKILAS TENTANG HASYIM MUZADI
Kyai Haji Abdul Hasyim Muzadi adalah Ketua Umum Nahdlatul Ulama (NU), organisasi keagamaan terbesar di Indonesia. Ia pernah menjadi pengasuh pondok pesantren Al-Hikam, Malang, Jawa Timur.
Nama Hasyim Muzadi mulai dikenal luas setelah dalam Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) di Lirboyo, Kediri, tahun 1999, ia ditunjuk menggantikan Gus Dur yang waktu itu terpilih sebagai Presiden RI. Namun begitu, kiprah Kyai kelahiran Tuban, Jawa Timur, 8 Agustus 1944 ini mengakar kuat di Jawa Timur. Ia dinilai sukses ketika memimpin Pengurus Wilayah NU (PWNU) Jawa Timur setelah terpilih dalam konferensi wilayah NU Jawa Timur tahun 1997.
Sejak muda, perjalanan hidupnya memang tidak lepas dari NU. Bukan hanya dia yang aktif di organisasi kaum nahdliyin ini. Kakaknya, KH Muchid Muzadi, pernah menjadi Rois Syuriah PBNU.
Kiai Hasyim, begitu ia akrab disapa, anak ketujuh dari delapan bersaudara, memulai pendidikan formalnya di Madrasah Ibtidaiyah Bangilan, Tuban pada tahun 1950, dilanjutkan di SMP Tuban. Setelah itu ia melanjutkan di Kuliyatul Muallimin Islamiyah (KMI) di Pondok Modern Darussalam, Gontor, Ponorogo.
Selepas dari sana, ia melanjutkan ke Pondok Pesantren Al Anwar, Sarang, Lasem. Di sinilah Hasyim lebih mengalami proses internalisasi nilai-nilai ke-NU-an karena Lasem dikenal sebagai pondok NU terkemuka dan banyak melahirkan tokoh-tokoh besar NU, seperti Rois Aam KH Ali Ma'shum. Dari Lasem Hasyim melanjutkan dan menuntaskan pendidikannya tingginya di IAIN (Institut Agama Islam Negeri) Sunan Ampel, Fakultas Tarbiyah, Malang, Jawa Timur pada tahun 1969.
Pria yang lahir di Tuban pada tahun 1944 ini, nampaknya memang terlahir untuk mengabdi di Jawa Timur. Sederet aktivitas organisasinya ia lakoni juga di daerah basis NU terbesar ini.
Kiprah organisasinya mulai dikenal ketika pada tahun 1992 ia terpilih menjadi Ketua Pengurus Wilayah NU (PWNU) Jawa Timur yang terbukti mampu menjadi batu loncatan bagi Hasyim untuk menjadi Ketua PBNU pada tahun 1999.
Pengalaman organisasi di lingkungan NU dimulai ketika menjadi Ketua Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Malang tahun 1966-1969. Ketua Gerakan Pemuda (GP) Ansor Malang tahun 1969-1973. Prestasinya mengembangkan kinerja di Malang membuat dia terpilih menjadi Ketua GP Ansor Jatim 1986-1989. Menjadi salah satu ketua Pimpinan Pusat GP Ansor tahun 1987-1991. Tahun 1989, ia mendirikan Pondok Pesantren Al Hikam di Kotamadya Malang. Santri pesantren ini khusus mahasiswa umum.
Organisasi kepemudaan semacam Gerakan Pemuda Ansor (GP-Ansor) dan organisasi kemahasiwaan Persatuan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) pernah ia pimpin. Hal inilah yang menjadi struktural menjadi modal kuat Hasyim untuk terus berkiprah di NU (Nahdlatul Ulama).
Banyak yang mafhum, sebagai organisasi keagamaan yang memiliki massa besar, NU selalu menjadi daya tarik bagi partai politik untuk dijadikan basis dukungan. Hasyim pun tak mengelak dari kenyataan tersebut. Tercatat, suami dari Hj. Muthomimah ini pernah menjadi anggota DPRD Tingkat I Jawa Timur pada tahun 1986, yang ketika itu masih bernaung di bawah Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Namun, jabatan sebagai Ketua Umum PBNU lah yang membuat Hasyim mendadak menjadi pembicaraan publik dan laris diundang ke berbagai wilayah. Bisa dikatakan, wilayah aktivitas alumni Pondok Pesantren Gontor Ponorogo ini tidak hanya meliputi Jawa Timur, namun telah menasional. Basis struktural yang kuat itu, masih pula ditopang oleh modal kultural yang sangat besar, karena ia memiliki pesantren Al-Hikam, Malang, yang menampung ribuan santri.
Hasyim dikenal sebagai sosok kiai yang memosisikan dirinya sebagai seorang pemimpin Indonesia. Selain sebagai ulama, sosok Hasyim dikenal "nasionalis dan pluralis". Itu sebabnya, ketika terjadi peristiwa Black September, yakni tragedi runtuhnya gedung WTC di Amerika Serikat, yang menempatkan umat Islam sebagai pelaku teroris, kiai yang dikaruniai enam orang putra ini, tampil dengan memberikan penjelasan kepada dunia internasional bahwa umat Islam Indonesia adalah umat Islam yang moderat, kultural, dan tidak memiliki jaringan dengan organisasi kekerasan internasional. Ia adalah sekian dari tokoh umat di Indonesia yang dijadikan referensi oleh dunia barat dalam menjelaskan karakteristik umat Islam di Indonesia.
Hasyim dikenal sebagai sosok yang pluralis. Ketika memberikan sambutan dalam acara deklarasi pencalonan dirinya sebagai pasangan Megawati Soekarnoputri, ia mengatakan, duetnya dengan Megawati merupakan awal dari dikikisnya dikotomi Islam abangan dan Islam santri.
Selama menjadi ketua umum PBNU ia mempererat relasi dengan ormas-ormas Islam. Beberapa kali NU melakukan kerjasama dengan Muhammadiyah. Dua ormas besar ini bersama-sama melakukan upaya pemberantasan korupsi.
Jiwa seorang pluralis juga tercermin dari kiprahnya membangun komunikasi dengan kelompok-kelompok agama lain. Bersama dengan Ketua Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Julius Kardinal Darmaatmadja, Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) Pdt Natan Setiabudi, tokoh agama Hindu Ketut Wirdhana dan Ibu Gedong, serta tokoh agama Khonghucu Haksu Tjhie Tjay Ing, ia merintis gerakan moral nasional yang terdiri dari kumpulan para tokoh agama.
Integritas Hasyim yang lintas sektoral kini diuji. Ijtihad politik pria berusia 60 tahun ini yang menerima lamaran PDI Perjuangan untuk menjadi cawapres, merupakan bagian dari sosok dirinya yang moderat."Saya ingin menyatukan antara kaum nasionalis dan agama",” ujarnya ketika berorasi dalam deklarasi pasangan capres dan cawapres Megawati-Hasyim Muzadi.
Walaupun memang, tak sedikit yang mencibir dan menyayangkan langkah Hasyim yang terjun ke politik praktis, termasuk dengan pewaris darah biru kaum nahdliyin, Gus Dur. Bahkan, langkah politik pria yang selalu berpeci ini telah menguak perseteruan dirinya dengan Gus Dur yang telah terpendam lama. Namun di atas segalanya, hanya Hasyim yang tahu persis, makna di balik langkah politik menuju kursi kekuasaan yang kini tengah dirintisnya.
Sumber Data:
- http://www.figurpublik.com/seni/
- http://www.nu.or.id/v2/detail.asp?what=berita&id=8453&lang=id
- http://www.nu.or.id/v2/detail.asp?what=berita&id=8452&lang=id
- http://www.nu.or.id/v2/detail.asp?what=berita&id=8452&lang=id
- http://www.kompas.co.id/mini/
- http://www.suarasurabaya.net/v05/infosinema/?
- http://www.suaramerdeka.com/harian/0404/28/x_bud.html
- http://www1.detik.com/indeksberita/
- http://id.wikipedia.org/wiki/Hasyim_Muzadi#column-one
- http://id.wikipedia.org/wiki/Hasyim_Muzadi" Kategori: Tokoh Indonesia | NU
PEMIKIRAN KH. HASYIM MUZADI
TENTANG POLIGAMI
Hasyim: Stop polemik poligami
Infotainment dinilai kebablasan
JAKARTA, MONDE : Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Dr KH Hasyim Muzadi meminta polemik masalah poligami segera dihentikan. Alasannya, ia melihat adanya kecenderungan polemik tersebut telah mengarah pada persoalan agama sebagai ajaran Islam.
Jika masalah tersebut terus dibiarkan, ia khawatir polemik tersebut akan menyebabkan konflik.
“Saya minta polemik tentang poligami dihentikan karena ada kecenderungan mengarah untuk mempersoalkan agama Islam sebagai ajaran, bukan lagi kasuistis. Kalau diteruskan bisa menjadi konflik,” kata Hasyim Muzadi, kemarin.
Hasyim, demikian ia akrab disapa, menyayangkan pemberitan media massa, terutama infotainment soal poligami Aa Gym yang cenderung kebablasan.
Padahal, NU telah mengeluarkan keputusan bahwa berita infotainment yang mencampuradukkan rahasia keluarga merupakan larangan keras agama.
“Saya ingatkan bahwa keputusan Musyawarah Nasional (Munas) alim ulama NU menyatakan, bahwa infotainment yang mengaduk privasi keluarga dan merusak kehormatan keluarga merupakan larangan keras agama,” jelas mantan Ketua PWNU Jawa Timur itu.
Khusus untuk kasus Yahya Zaini (YZ) dan Maria Eva (ME), Hasyim mengatakan bahwa pemberitaan media massa, terutama infotainment soal kasus itu juga telah kebablasan, karena telah melampaui keperluan kelaziman informasi.
Selain tidak mendidik, penayangan yang melampaui batas tersebut juga merupakan kejahatan sosial.
Sumber Data:
Hasyim Muzadi: Poligami Dalam Islam Tak Perlu Dipertentangkan
Kamis, 07 Desember 2006, 11:21 WIB
Jakarta--RRI-Online, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Hasyim Muzadi, menegaskan bahwa masalah monogami dan poligami dalam Islam adalah pilihan dan kelonggaran sebagai rahmat Allah, sehingga tidak perlu dipertentangkan.
"Jangan sekali-kali dikontradiksikan. Biarlah berjalan secara natural dan demokratis," kata Ketua Umum PBNUB KHB Hasyim Muzadi di Jakarta, Kamis (7/12), menanggapi polemik soal poligami menyusul pernikahan kedua da`i kondang KH Abdullah Gymnastiar (Aa Gym).
Hasyim mengatakan, bagi yang merasa telah hidup tenang dengan monogami sebaiknya tetap memilih monogami. Sedangkan bagi orang yang karena kondisinya lebih tenang dengan poligami maka jangan dilarang berpoligami.
"Yang harus dilarang adalah kenakalan dan kelainan seksual," kata pengasuh Pondok Pesantren Mahasiswa Al Hikam, Malang, Jawa Timur, tersebut.
Jika pemerintah berniat mengatur persoalan poligami, kata Hasyim, maka pemerintah tidak perlu mengubah substansinya, cukup pengaturan teknis saja.
"Jangan kita mengharamkan yang dihalalkan Allah dengan bergaya bersih dan moralis karena itu sebuah kepalsuan, apalagi kalau niatnya kampanye," katanya.
Presiden Dewan Dunia Agama-Agama untuk Perdamaian (WCRP) yang baru saja mendapat gelar doktor honoris causa dari IAIN Sunan Ampel, Surabaya, itu juga berharap umat Islam Indonesia proporsional dalam menjalankan agamanya.
Sementara itu, menyangkut praktik poligami yang dilakukan Aa Gym, Hasyim mengatakan, sebaiknya semua pihak menghormati pilihan hidup pengasuh Pesantren Daarut Tauhid tersebut.
"Biarlah Aa Gym memilih cara hidupnya sendiri. Boleh diberitakan tapi tidak perlu dipergunjingkan. Sedangkan pemerintah lebih baik mengurusi minyak tanah, lumpur, dan kesedihan rakyat daripada poligami," katanya menambahkan.
Sumber Data:
Hasyim Muzadi, ”Stop Polemik Poligami”
JAKARTA, (PR).- Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU) Dr. K.H. Hasyim Muzadi, minta agar polemik masalah poligami segera dihentikan. Alasannya, ia melihat ada kecenderungan polemik itu telah mengarah pada persoalan agama sebagai ajaran Islam. Jika dibiarkan, ia khawatir polemik itu akan menyebabkan konflik.
"Saya minta polemik tentang poligami dihentikan, karena ada kecenderungan mengarah untuk mempersoalkan agama Islam sebagai ajaran, bukan lagi kasuistis. Kalau diteruskan bisa menjadi konflik," kata Dr. K.H. Hasyim Muzadi, Selasa (12/12).
Hasyim juga menyayangkan pemberitaan media massa, terutama infotainment soal poligami Aa Gym yang cenderung kebablasan. Padahal, NU telah mengeluarkan keputusan, berita infotainment yang mencampuradukkan rahasia keluarga merupakan larangan keras agama.
"Saya ingatkan, keputusan Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama NU menyatakan, infotainment yang mengaduk privasi keluarga dan merusak kehormatan keluarga, merupakan larangan keras agama," kata mantan Ketua PW NU Jawa Timur itu.
Khusus untuk kasus Yahya Zaini (YZ) dan Maria Eva (ME), Hasyim mengatakan, pemberitaan media massa terutama infotainment juga telah kebablasan, karena telah melampaui keperluan kelaziman informasi. Selain tidak mendidik, penayangan yang melampaui batas itu juga merupakan kejahatan sosial.
"Penayangan gambar tanpa pakaian 'terus-menerus' sebagai kejahatan publisistik dan kekejaman keji atas keluarga yang bersangkutan," ungkap kiai, yang beberapa waktu lalu mendapat gelar doktor Honoris Causa dari IAIN Sunan Ampel Surabaya itu.. (dtc)***
Sumber Data:
http://www.monitordepok.com/emailteman-10792-kabar-jiran.html
Hasyim Muzadi: Pemerintah Jangan Ikut Campur Masalah Keluarga
Rabu, 06 Desember 2006 | 21:47 WIB
TEMPO Interaktif, Indramayu:Pemerintah diminta untuk tidak perlu ikut campur mengurusi permasalahan keluarga karna permasalahan tersebut menyangkut pribadi masing-masing keluarga itu sendiri. Hal tersebut diungkapkan oleh Ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Hasyim Muzadi usai menyaksikan Pelantikan Pengurus Cabang NU Kabupaten Indramayu di wisma haji Indramayu, Rabu (6/12).
"Ini merupakan permasalahan keluarga, jadi biarkan berjalan secara alamiah dan pemerintah diminta untuk tidak perlu ikut campur," jelasnya. Lebih baik, lanjut Hasyim, pemerintah lebih fokus mengurus masalah disiplin kerja aparatur pemerintahan dibandingkan permasalahan pribadi tiap keluarga.
Sementara itu saat menghadiri pelantikan pengurus cabang NU kabupaten Cirebon, Hasyim menjelaskan bahwa saat ini untuk menjadi pemimpin dengan satu orang istri dan tiga anak saja sudah susah. "Terlebih harus menjadi pemimpin dari dua istri. Justru akan lebih susah lagi." Karena itu, lanjut Hasyim, lebih baik pemerintah mengurus aparatur pemerintahan saja yang lebih penting.
Seperti diketahui, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono telah memanggil Menteri Permberdayaan Perempuan, Meutia Hatta dan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Depaerteman Agama, Nazaruddin Umar di Kantor Presiden untuk meminta agar PP No 10/1983 yang telah direvisi menjadi PP No 45/1990 kembali direvisi. PP No 45/1990 tersebut selama ini hanya mengatur masalah poligami bagi PNS dan TNI/Polri. Dengan revisi yang telah diminta oleh Presiden tersebut maka aturan itu juga akan berlaku bagi pejabat negara dan pejabat pemerintahan seperti menteri, gubernur, bupati,walikota dan anggota DPR.
Sumber Data:
Rencana pemerintah yang akan memperketat aturan poligami, ditanggapi keras oleh sejumlah tokoh umat Islam. Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Hasyim Muzadi misalnya menyatakan, poligami sebaiknya tidak diatur dalam sebuah peraturan atau perundang- undangan. Menurutnya, poligami adalah masalah pribadi seseorang sehingga tidak layak jika harus diurusi pemerintah.
“Lebih baik mengurusi masalah kedisiplinan kerja dan peningkatan kinerja aparatur pemerintahan,”sebagaimana dikutip koran SINDO saat berada di Indramayu. Meski tidak secara gamblang menolak rencana revisi PP No 45/1990 ini, Hasyim Muzadi menyatakan, persoalan poligami sebaiknya dibiarkan berjalan secara alamiah.
Di hadapan ribuan kader NU Indramayu dalam acara pelantikan pengurus cabang setempat, Hasyim menyampaikan bahwa poligami adalah pilihan seseorang. Artinya, poligami menjadi tanggung jawab masing-masing individu dengan berbagai konsekuensi yang akan diperoleh.
Senada dengan Hasyim, Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah Din Syamsuddin menilai, wacana poligami tidak perlu dikembangkan karena hanya akan membawa masyarakat pada perdebatan yang tidak perlu. Dia menyesalkan jika persoalan ini ditarik ke tataran politik atau kebijakan negara karena bisa kontraproduktif dalam upaya membangkitkan bangsa dari keterpurukan.
“Sementara, begitu banyak masalah bangsa yang strategis yang harus kita selesaikan, “imbaunya. Menurut Din, poligami adalah masalah khilafiyah (perbedaan pendapat) dalam Islam, terkait penafsiran terhadap ayat Al-Qur’an. Karena masalah ini adalah masalah keagamaan, dia mengharapkan semua pihak untuk berhati-hati menyimpulkannya.
Sumber Data:
TENTANG PLAYBOY DAN RUU APP
Hasyim Muzadi Sesalkan Terbitnya Edisi Dua Playboy
Jakarta-RoL — Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU) KH Hasyim Muzadi menyesalkan terbitnya majalah Playboy edisi ke dua.
Pernyataan tersebut dikemukakan oleh Hasyim Muzadi kepada wartawan sebelum menerima anugerah “Piagam Kemitraan Luar Biasa” dari Duta Besar Amerika Serikat (AS) B. Lynn Pascoe di Jakarta, Jumat. “Saya menyesalkan terbitnya edisi ke dua Playboy. Ini kan namanya memancing kemarahan, tapi nanti kalau ada yang marah maka yang disalahkan yang marah,” katanya.
Saat ditanya mengenai aksi kekerasan yang dilakukan oleh sejumlah pihak pada unjuk rasa, Hasyim mengatakan aksi kekerasan tetap tidak dapat dibenarkan. “Unjuk rasa boleh tapi jangan sampai mengambilalih tugas aparat yang berwenang,” katanya.
Namun, kata dia, aksi kekerasan itu jangan hanya diidentikkan dengan memecahkan kaca saja, karena penghinaan terhadap agama atau nabi juga sesungguhnya termasuk salah satu aksi kekerasan spritual. Saat ditanya mengenai industri pornografi di Indononesia, Hasyim mengatakan, industri pornografi di Indonesia sudah melampaui batas.
“Sudah kelewatan dan yang untung hanya industrinya saja, generasi muda rugi namun anehnya yang mati-matian menentang pengaturan tersebut justru generasi muda, mereka dimanfaatkan dengan baik tetapi tidak sadar,” ujarnya. Mengenai Rancangan Undang-Undang (RUU) Anti Pornografi dan Pornoaksi (APP), Hasyim mengatakan UU APP hendaknya ada untuk memberikan keseimbangan moral.
“Tapi orang-orang salah, mereka pikir dengan adanya RUU APP nanti orang-orang tidak pakai kerudung ditangkap,” ujarnya.RUU APP, kata dia, hendaknya menjadi perhatian jangan semata-mata membela industri pornografi.
“Namun, karena dunia bukan surga maka industri itu tetap harus diberi tempat, semua negara juga seperti itu, bahkan Amerika Serikat yang katanya negera paling liberal tapi justru malah sangat ketat membatasi peredaran produk pornografi. Asal diberi tempat harusnya sudah cukup,” katanya.
Ketika ditanya mengenai maraknya kemunculan sejumlah peraturan daerah anti pelacuran, maksiat dan minuman keras, Hasyim mengatakan bahwa itu bukanlah hal yang baru. “Kenapa orang-orang harus ribut mengenai itu, bukankah di KUHP juga sudah dilarang yang namanya pelacuran dan minuman keras,” katanya.
Hari Rabu lalu (7/6), dari kantor redaksinya yang baru di Denpasar, Bali, edisi ke dua majalah Playboy diterbitkan, setelah dua bulan yang lalu menerbitkan edisi perdananya yang menimbulkan protes di kalangan masyarakat. Sama halnya dengan terbitnya edisi perdana Playboy versi Indonesia, beredarnya majalah Playboy edisi dua juga menuai protes berbagai kalangan.
Sementara itu pada kesempatan sebelumnya, Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), Sofyan A. Djalil, meminta fatwa Dewan Pers sehubungan dengan terbitnya majalah Playboy edisi ke dua. “Saya akan datang lagi ke Dewan Pers, meminta fatwa, apakah Playboy merupakan produk pers atau bagian dari bisnis pornografi,” katanya di Jakarta, Kamis (8/6).
Bila kemudian Dewan Pers menyatakan majalah Playboy edisi dua adalah bagian dari bisnis pornografi, maka Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo) akan meminta pihak berwajib untuk mengambil tindakan dan menutup majalah Playboy versi Indonesia.
Menurutnya, jika Playboy oleh Dewan Pers dianggap sebagai produk pers, maka Depkominfo tidak akan bisa melakukan tindakan apa-apa, tapi bila yang terjadi sebaliknya, maka Playboy dapat ditutup dan pemiliknya bisa ditahan. “Saya sudah mengirim surat kepada Dewan Pers sehubungan dengan terbitnya Playboy edisi dua, namun hingga kini belum ada tanggapan dari mereka,” tambahnya.
Namun, menurut Menkominfo, saat ini paling tidak yang dapat segera dilakukan adalah membereskan masalah distribusi majalah berlogo kelinci tersebut.”Menjual majalah Playboy di persimpangan jalan sama sekali tidak dibenarkan, sangat berisiko, terutama sekali bagi anak-anak di bawah umur dan para penjual yang menjajakannya di persimpangan lampu merah jalanan,” tegasnya.
Untuk itu, Sofyan A. Djalil mengatakan, dirinya akan meninjau lebih lanjut apakah Depkominfo dapat memperoleh kewenangan untuk mengatur masalah pendistribusian Playboy versi Indonesia, sehingga tidak lagi dijual bebas di sembarang tempat. antara/pur
Sumber Data:
Hasyim Muzadi Minta Gus Dur dan FPI Menahan Diri
Jumat, 26 Mei 2006 - Ketua PBNU KH. Hasyim Muzadi meminta Gus Dur mengurangi pernyataannya yang bisa menyebabkan konflik. Namun juga meminta FPI tak mengambil peran polisi
Hidayatullah.com--Ketua Umum PBNU, KH Drs A Hasyim Muzadi, meminta ketua Dewan Syuro DPP PKB, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dan aktivis Front Pembela Islam (FPI) untuk sama-sama menahan diri, karena konflik di antara mereka akan dapat mencoreng image Islam.
"Saya kira, mereka sebaiknya sama-sama menahan diri. Gus Dur sebaiknya mengurangi statemen yang bersifat konflik, tetapi FPI juga jangan mengambil alih peran polisi. Kalau semua mau menahan diri, saya kira akan selesai," katanya di Surabaya, Jumat.
Di sela-sela peresmian Masjid Khadijah di lingkungan Yayasan Taman Pendidikan dan Sosial (YTPS) NU Khadijah, Wonokromo, Surabaya, ia mengemukakan hal itu menanggapi kericuhan diskusi RUU APP di Purwakarta yang dilakukan FPI dengan Gus Dur selaku pembicara kunci.
Menurut Hasyim Muzadi yang menjadi Ketua Umum PBNU pasca Gus Dur itu, FPI jangan mengerahkan massa jika tidak cocok dengan sesuatu, karena hal itu sama halnya dengan mengambil peran aparat kepolisian.
"Jangan pakai massa, jangan mengambil peran aparat kepolisian, tapi lakukan protes lewat jalur hukum. Kalau menganggap polisi juga kurang sigap ya tempuh jalur hukum, bisa lewat somasi, atau upaya hukum lainnya," katanya.
Dalam acara yang dihadiri Wawali Surabaya, H Arief Affandi, itu pengasuh Pesantren Mahasiswa Al-Hikam, Malang, tersebut menjelaskan pihaknya sangat memprihatinkan cara FPI dalam menyikapi Gus Dur, gereja, Ahmadiyah, dan tempat hiburan dengan razia, sweeping, dan pengerahan massa.
"Itu sudah berlebihan. Saya minta kelompok penekan berkarakter agama seperti FPI jangan mencoreng nama Islam, karena kita memang tidak mungkin membuat pendapat atau agama semua manusia itu sama dengan kita, tapi Gus Dur juga perlu mengurangi statemen yang bersifat konflik, meski sulit," katanya.
Mantan ketua PWNU Jatim itu membantah massa yang "membalas" FPI di berbagai tempat, seperti massa Garda Bangsa PKB Jatim di Jalan Perak Barat, Surabaya (24/5), merupakan massa NU, meski mereka yang berasal dari PKB itu sangat mungkin juga warga NU.
"Itu bukan massa NU, karena Gus Dur itu juga NU yang sedang berada dalam fungsi PKB, karena itu mereka bukan menjadi tanggungjawab NU, apalagi konflik yang berkembang itu bukan menyangkut umat NU, melainkan kepentingan yang tak ada kaitan dengan keumatan," katanya.
Ketika ditanya kelambanan polisi, mantan Cawapres dalam Pilpres 2004 itu menilai pihaknya memang sudah menemui Kapolri untuk bersikap tegas dalam berbagai peristiwa yang memang menjadi kewenangan polisi secara hukum, sehingga tak diambil alih pihak lain.
"Polri sering menyatakan jika mereka kesulitan mengerahkan anggotanya, karena massa yang dihadapi lebih banyak. Saya katakan, anggota Banser (Barisan Ansor Serbaguna) se-Indonesia akan siap membantu polisi, asal diminta dan sifatnya membantu di belakang polisi," katanya.
Peresmian masjid di kompleks SD, SMP, dan SMA Khadijah itu juga dihadiri Ketua PWNU Jatim, KH Dr Ali Maschan Moesa Msi, Ketua YTPS NU Khadijah, Drs Hj Khofifah Indar Parawansa, dan pengasuh Pesantren Ilmu Al-Qur`an, Singosari, Malang, KH Bashori Alwi. [ant]
Sumber Data:
Hasyim Muzadi Tak Rela Pemerintah Legalkan Playboy
Arfi Bambani Amri – detikcom
Jakarta - Bukan sekali ini KH Hasyim Muzadi mengomentari rencana penerbitan Playboy Indonesia. Rasa kesalnya memaksa ia terus melancarkan protes. Dia benar-benar tak rela Playboy dilegalisasi pemerintah.
"Saya menolak karena pornografi dan pornoaksi sudah nyata merusak masyarakat. Kok mau ditambahi lagi dengan legalisasi oleh pemerintah!" cetusnya dalam jumpa pers usai Istiqotsah PBNU di Masjid Istiqlal, Jakarta, Selasa (31/1/2005).
Dia juga sangat menyesalkan sikap pemerintah yang merasa tidak punya hak untuk menolak. Pernyataan itu dianggap fatalistik. "Tidak boleh pemerintah ngomong seperti itu," tandasnya.
Untuk mengganjal masuknya Playboy, Ketua PBNU itu tidak tinggal diam. Dia mengaku sudah menyampaikan surat ke DPR dan anggota-anggota DPR dari NU sudah diberitahu.
"Kita juga sudah kirim surat kepada menteri dan kita akan gerakkan rakyat kalau nanti majalah itu terbit," tegasnya.
Diakui Hasyim, saat ini memang banyak media syur yang beredar luas di masyarakat dan tidak ada larangan sama sekali.
"Tapi nggak ada yang dilegalisir. Yang selama ini sudah keterlaluan kok mau ditambah lagi!" cetusnya.
Padahal baginya pornografi ibarat pisau bermata dua. Mata pertama untuk mendemoralisasi bangsa Indonesia dan mata kedua sebagai industri. "Jadi sekarang melawan pornografi itu seperti melawan uang!" tandas Hasyim.(umi/)
Sumber Data:
TENTANG FORMALIN
Formalin Haram untuk Makanan
Ditulis oleh didinkaem
Wednesday, 08 November 2006 --- Bahan halal jika dalam penggunaannya menyebabkan kemudhararatan, hukumnya menjadi haram. Namun tidak berlaku sebaliknya. Formalin. Cairan tak berwarna dan berbau ini belakangan jadi gunjingan. Bahan yang sering digunakan untuk mengawetkan aneka bahan makanan ini, adalah bahan berbahaya yang bersifat karsinogenik.
Tak hanya dari sisi kesehatan saja bahan ini diharamkan. Secara syariat, bahan yang menyebabkan mudharat juga diharamkan. Formalin masuk dalam barisan ini, jika pemakaiannya disalahgunakan.
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Amidhan menyatakan bahwa penggunaan formalin untuk mengawetkan makanan hukumnya adalah haram. Menurutnya, haramnya formalin dalam pengawetan makanan ini karena bisa menyebabkan mudharat berupa penyakit yang berakibat pada kematian.
Menurutnya, ada tiga jenis makanan yang haram dikonsumsi, yaitu yang memang haram (seperti daging babi dan daging dan penyembelihannya tanpa menyebut nama Allah), makanan yang mengandung najis, dan makanan yang menyebabkan mudharat. Karena itulah, makanan yang mengandung formalin masuk kategori haram karena bisa menimbulkan kemudharatan, seperti penyakit dan juga kematian.
''Meskipun penyakit yang ditimbulkan formalin baru akan dirasakan dalam jangka waktu panjang, namun karena menyebabkan kemudharatan, makanya hukumnya jadi haram,''jelasnya kepada Republika, Selasa malam (3/1).
Namun, meski haram untuk digunakan sebagai pengawet makanan, formalin sendiri tidaklah haram. ''Sebagai zat kimia, selama tidak digunakan untuk mengawetkan makanan, formalin tidak diharamkan,'' katanya.
Menurut Amidhan, maraknya penggunaan formalin untuk makanan di masyarakat adalah tanggung jawab pemerintah. Pasalnya, penggunaan formalin sudah berlangsung sejak lama dan terus dibiarkan penggunaannya oleh pemerintah. ''Seharusnya pemerintah melakukan kontrol penggunaan formalin dan melarang penggunaannya,''jelasnya.
MUI sendiri, jelasnya, belum berencana mengeluarkan fatwa khusus tentang hukum haram penggunaan formalin dalam makanan. ''Sebenarnya tanpa harus difatwakan secara khusus oleh MUI, makanan yang mengandung formalin sudah haram karena mengundang kemudharatan,''katanya. Namun ia menyatakan bahwa MUI siap jika diminta masyarakat untuk membuat fatwa terkait penggunaan formalin untuk makanan ini.
Senada dengan pernyataan ketua MUI, hal yang sama juga dinyatakan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Hasyim Muzadi. Muzadi mengatakan bahwa bahan pengawet mayat tersebut tidaklah haram. Menurutnya, yang diharamkan adalah penggunaannya saja. "Sama saja dengan racun tikus. Racunnya kan tidak haram. Menjadi haram kalau dibuat untuk meracun orang," tandas Hasyim Muzadi saat ditemui di kantor PBNU.
Meski demikian, Hasyim menyatakan bahwa harus ada pembahasan khusus terkait dengan persoalan tersebut. Oleh karena itu, kata Hasyim, dalam waktu dekat PBNU akan segera mengadakan bahsul masail (pembahasan masalah) untuk membahas sekaligus menetapkan status hukum atas persoalan formalin tersebut.
Selain itu, Hasyim menyatakan bahwa harus ada kontrol dari pemerintah atas peredaran zat berbahaya tersebut. Kontrol dalam hal ini, ungkap Hasyim bisa berbentuk peraturan yang bisa mengendalikan peredaran barang tersebut agar tidak dijual bebas seperti selama ini.
Sementara itu Ketua Komisi Fatwa MUI, KH Ma'ruf Amin menyatakan sejauh ini pihaknya belum berencana membuat fatwa tentang haram tidaknya penggunaan formalin. ''Sejauh ini belum ada permintaan dari masyarakat, karena itu belum kami rencanakan pembuatan fatwanya,''jelasnya.
MUI sendiri, katanya, belum memberikan fatwa haram tidaknya formalin karena belum mendapatkan informasi yang jelas tentang penggunaan formalin. ''Sebelum membuat fatwa, kita kan harus tahu dulu apa itu formalin, apa kegunaannya, kenapa sampai ada formalin, apa dampaknya jika digunakan dalam makanan, dan sebagainya,''jelasnya.
Sumber Data:
TENTANG LOMBA KARTUN NABI
Hasyim Muzadi: Lomba Kartun Nabi Upaya Sistemik Nodai Islam
Minggu, 08 Oktober 2006 23:10:06 --- Jakarta - Tindakan sejumlah orang di Denmark yang menggelar lomba menggambar kartun Nabi Muhammad dinilai Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi sebagai upaya berencana dan sistemik untuk menodai Islam.
"Fonemana ini menunjukan, saat ini ada serangan berencana yang dilakukan secara sistemik untuk menodai kesucian agama Islam," cetus Hasyim dalam rilis yang diterima detikcom, Minggu (8/10/2006). Hasyim menyebut adanya serangan yang berencana, karena lomba menggambar kartun Nabi ini merupakan kejadian yang kesekiankalinya yang menyinggung perasaan umat Islam.
Lebih lanjut, Hasyim mengatakan, kejadian itu secara langsung telah membantah anggapan masyarakat, bahwa umat Islam adalah sumber ekstrimisme. Karena yang dilakukan umat Islam selama ini hanya sebatas reaksi dari kekecewaan terhadap kejadian yang telah terjadi berulang-ulang.
"Dengan kejadian itu, tidak benar, jika ada anggapan, bahwa kaum muslimin selama ini sebagai sumber masalah konflik keagamaan dan konspirasi. Sehingga opini dunia yang selama ini dibangun, bahwa umat Islam sebagai sumber kekerasan sebenarnya hanya reaksi terhadap Islam-phobia," tegasnya.
Dengan kejadian ini, Hasyim meminta umat Islam di seluruh dunia untuk meningkatkan ikatan persaudaraan, agar tidak mudah dipecah oleh pihak-pihak yang ingin merusak Islam. "Umat Islam seharusnya meningkatkan ukhuwah Islamiyah agar tidak tercabik-cabik oleh kekuatan Islam-phobia itu," ujarnya.
Hasyim yang juga menjabat sebagai Presiden World Conference of Religions for Peace (WCRP) merasa berkewajiban menegur pihak-pihak yang menjadi sumber konflik agama tersebut. Sebab, jika hal itu dibiarkan akan semakin meningkatkan konflik agama yang sulit dibendung. "WCRP berkewajiban menegur gerakan-gerakan yang menjadi sumber konflik itu, karena ternyata tidak benar opini dunia bahwa sumber eksterimisme ada pada umat Islam," tandasnya. (bal/bal) Iqbal Fadil - detikcom
Sumber Data:
TENTANG BOM BALI
Wawancara K.H Hasyim Muzadi: Tragedi Bali adalah Kejahatan Kemanusiaan
22/10/2002 - Tragedi Bali itu harus dilihat sebagai kejahatan kemanusiaan. Titik. Sehingga, apabila pelakunya tertangkap, maka perlu diterapkan hukuman yang setimpal. Dalam arti, mengadili kejahatan kemanusiaan itu sendiri.
Bagi K.H Hasyim Muzadi, sikap saling curiga akan semakin marak bila pemerintah lambat mengusut pelaku pemboman Bali pekan lalu. Inilah yang diharapkan oleh provokator paska-tragedi Bali yang merenggut nyawa ratusan orang itu. Untuk lebih memperbincangkan kasus tragedi Bali 12 Oktober 2002, Komunitas Islam Utan Kayu selain mengundang KH. Hasyim Muzadi, juga menghadirkan Dr. Syafi’i Ma’arif, ketua PP. Muhamadiyah, dan Muslim Abdurrahman, intelektual muslim. Wawancara dengan ketiga tokoh ini dipandu oleh Ulil Abshar-Abdalla dalam acara “Agama dan Toleransi”, di kantor berita Radio 68H Jakarta, 17 Oktober 2002.
Berikut petikan wawancara dengan Ketua Umum PBNU yang juga pengasuh Pondok Pesantren Mahasiswa al-Hikam, Malang:
Pak Hasyim, sebagai Ketua Umum PBNU, bagaimana tanggapan Anda atas tragedi pemboman Bali, 12 Oktober lalu?
Tanggal 14 Oktober yang lalu, kita --bukan hanya NU, tapi seluruh pemuka agama yang ada-- sudah mengadakan kesepakatan. Ketika itu, Pak Syafi’i Ma’arif (Ketua Umum PP. Muhammadiyah) berhalangan dan digantikan wakil beliau, Pak Rosyad. Tapi secara keseluruhan seluruh tokoh agama-agama hadir.
Hasil kesepakatan dari pertemuan itu adalah mengecam dan mengutuk keras tragedi Bali itu. Tindakan itu (meledakkan bom di Bali, Red) bukan merupakan ajaran agama, bahkan larangan agama. Ini karena merusak lingkungan sosial, bahkan alam. Oleh karena itu, para tokoh lintas agama berharap, bila pelaku-pelaku pemboman itu nantinya tertangkap, jangan sekali-sekali dihubungkan dengan agama atau institusi agama tertentu.
Jadi, misalnya, yang tertangkap adalah tokoh beragama Islam, berarti jangan dibawa-bawa Islamnya?
Ya, jangan dibawa Islamnya! Ataupun, bila pelakunya kebetulan beragama Katolik, jangan dinisbatkan ke agamanya. Ada statemen dari seorang Kardinal yang menurut saya menarik. Menurutnya, seorang yang beragama, kemudian mengerjakan kejahatan, sesungguhnya sedang bertindak menentang agama yang dia peluk sendiri. Maka, tidak adil rasanya kalau kemudian tragedi semacam ini diseret-seret ke komunitas agama tertentu.
Sebagian opini mengait-ngaitkan tragedi Bali itu dengan Islam. Kesimpulan opini itu mengatakan bahwa pemboman Bali adalah rekayasa asing yang diarahkan untuk menyerang Islam. Apa yang harus dilakukan umat Islam kini?
Saya kira, secara timbal-balik mesti ada koreksi. Komunitas non-muslim, tidak boleh mengaitkan pemboman ini dengan Islam. Sementara kalangan muslim, jangan lantas merasa bahwa itu gerakan menghancurkan Islam.
Nah, sekarang ini dari dua belah pihak, terjadi sebuah kerancuan. Negara-negara Barat menuduh dengan tuduhan berbau agama bahwa terorisme ada kaitannya dengan Islam, sementara kelompok muslim sendiri, punya persepsi seakan-akan perbuatan itu harus dibela melalui agama. Ini salah semua!
Tragedi Bali itu harus dilihat sebagai kejahatan kemanusiaan. Titik. Sehingga, apabila pelakunya tertangkap, maka perlu diterapkan hukuman yang setimpal. Dalam arti, mengadili kejahatan kemanusiaan itu sendiri.
Apa yang Anda harapkan dari pemerintahan Megawati menyikapi tragedi Bali?
Ada beberapa hal, saya kira, yang penting dirumuskan Presiden Megawati. Pertama, harus merangkul seluruh gerakan-gerakan dan elemen intelijen yang kita punya, untuk mendeteksi dan mengungkap tragedi ini. Dengan demikian, kita tidak bergantung pada intelijen asing.
Kedua, harus berhasil menangkap pelakunya. Kalau bisa sesegera mungkin. Sebab kalau tidak tertangkap, akan terjadi fitnah, prasangka dan saling tuduh di antara elemen bangsa. Ini jelas membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa. Provokator dan pelaku mungkin mengharapkan hal itu.
Ketiga, perlu keselarasan dan kebersamaan pemerintah dalam menanggulangi tragedi Bali. Sekarang ‘kan tidak, masing-masing pejabat berbicara sendiri-sendiri, tanpa koordinasi. (Dalam wawancara di televisi, K.H Hasyim mengistilahkan dengan “satu pedati yang ditarik oleh empat atau lima sais.” Akibatnya, tidak pernah ada persoalan yang benar-benar selesai. Selama ini jika ada persoalan berganti, bukan karena dituntaskan, tapi tertumbuk oleh masalah baru, Red)
Keempat, pemerintah juga harus menguatkan diplomasi luar negeri yang saat ini perannya menurun secara drastis. Perlu diketahui, 37 duta besar Indonesia yang ditugaskan ke negara lain sampai saat ini belum diangkat gara-gara harus melewati persetujuan DPR. Jadi, ada suatu suasana yang kontradiktif: satu sisi kita harus memperkuat diplomasi global karena citra negara kita makin hancur karena tragedi Bali tersebut, tapi secara de facto justru kekuatan diplomasi itu sedang menurun sekarang ini. Dalam tata pergaulan internasional, hal ini berbahaya untuk masa depan Indonesia. []
Sumber Data:
TENTANG PERDA SYARI`AH
Dibalik Ketakutan pada Syariat
Rabu, 28 Juni 2006
Dilihat isinya, perda-perda tersebut ditujukan untuk mengurangi kemaksiatan, peningkatan kemampuan baca tulis al-Quran, dan menjaga akhlak. Namun demikian, pihak sekuler dan liberal menolaknya. Mereka seakan tidak rela kemaksiatan berkurang, para siswa bisa membaca al-Quran, para ibu dan bapak dapat baca al-Quran, para muslimah tidak mengumbar aurat, minuman keras dilarang, judi dilarang, dan pelacuran dilarang. Mereka tidak ingin kaum Muslim seperti itu.
Mereka menyebut perda-perda itu sebagai perda syariat. Jadi, penolakan tersebut alasannya hanya satu, yakni syariat Islam. Mereka tidak ingin umat Islam menjalankan syariatnya. Kalau mereka menolak pemberlakuan hukum Islam terkait ibadah, makanan, minuman, pakaian, kawin, cerai, rujuk, waris dan masalah private lainnya atas non Muslim masih dapat dimaklumi. Karena, syariat Islam menegaskan dalam persoalan-persoalan tersebut diserahkan sesuai agamanya. Namun, apabila umat Islam dilarang untuk melaksanakan syariat agamanya, jelas ini suatu kebiadaban. Wajar bila Ketua Umum PB NU KH. Hasyim Muzadi menyatakan isu perda anti maksiat itu disikapi sebagian kalangan dengan overacting (22/6/2006).
Sumber Data:
Masalah: Ketua Umum PB NU KH. Hasyim Muzadi menyatakan isu perda anti maksiat itu disikapi sebagian kalangan dengan overacting.
Bantahan Penyusun: jika yang dimaksud untuk mendukung kalangan JIL; menolak pelaksanaan hukum Islam di Indonesia, dengan berbagai alasan yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, maka sangat dikhawatirkan beliau terjerumus pada perkataan yang dapat membatalkan keislaman seseorang.
Adapun jika yang dimaksud mendukung perlunya ditegakkan syari`at Islam di bumi Indonesia maka beliau terbebas dari perkataan yang dapat membatalkan keislaman.
Hasyim Muzadi: Syariat Tak Perlu Jadi Hukum Positif
JAKARTA, 12 Juli: Pemerintah daerah (pemda) mestinya tidak perlu menempelkan beberapa nilai syariat dalam peraturan daerah (perda). Pasalnya nilai-nilai tersebut sudah diatur dalam kitab undang-undang hukum pidana (KUHP).
Imbauan tersebut dikemukakan Ketua mum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Hasyim Muzadi usai bertemu Wakil Presiden Jusuf Kalla di kantor Wapres, Selasa (11/7).
"Tidak perlu menempelkan syariat di perdanya, karena perda itu sudah berlaku hukum nasional," ujarnya pada wartawan usai meminta kesediaan Wapres membuka musyawarah alim ulama nasional di Surabaya pada 28 Juli mendatang.
Dijelaskan Muzadi, diadopsinya beberapa nilai syariat Islam dalam perda justru akan menimbulkan tumpang tindih karena beberapa poinnya memang sudah diatur dalam KUHP.
Bagaimana pun, katanya, harus dipahami bahwa syariat Islam mestinya dilakukan dalam konteks civil society dan bukan untuk konteks bernegara atau nation state. Syariat, jelasnya, harusnya dipahami dalam konteks hak setiap umat beragama untuk beribadah. Oleh karena itu, katanya, tidak bisa dijadikan sebagai hukum positif yang notabene berlaku secara umum.
Terkait hal tersebut, katanya sudah selayaknya perlu dipikirkan lagi bagaimana mencari solusi jalan tengah untuk menjembatani keduanya. Pasalnya, bila hal itu dipaksakan justru akan memposisikan syariat berhadap-hadapan dengan hukum positif yang notabene berlaku universal untuk konteks bernegara.
Untuk mengantispasi hal itu, katanya, diperlukan sebuah metodologi yang tepat yaitu hanya mengadopsi hal-hal yang bersifat universal saja. Itu sebabnya, katanya, ke depannya perlu dicarikan polanya yang ideal untuk memposisikan keduanya. Karena kalau tidak, maka permasalahannya akan berlarut-larut dan menghabiskan energi namun tidak menyelesaikan permasalahan.
"Untuk apa DPRD bikin syariat, wong itu sudah ada di KUHP, untuk apa juga dipersoalkan syariatnya terus sehingga judi tidak bisa diberantas," ujarnya menyayangkan kontroversi perda syariat yang belakangan ini mengemuka di masyarakat.
Masalahnya, katanya lagi, saat ini terdapat kecenderungan adanya kesalahpahaman melihat syariat Islam dalam konteks yang sempit. Padahal, harusnya syariat dimaknai secara universal, yaitu menyangkut aspek-aspek lain seperti pendidikan, kemakmuran, keadilan maupun persatuan.
Kesalahpahaman itulah yang saat ini membuat posisi syariat Islam berhadapan atau bersinggungan dengan kepentingan universal. Itu sebabnya, tegas Muzadi, ke depan perlu diperoleh kesamaan pemahaman tentang definisi syariat. "Sehingga definisi itu harus diperbaiki," tegasnya.
Empat kondisi
Senada dengan Muzadi, salah satu ketua PBNU Said Agil Siradj mengimbau agar perda bisa berlaku secara universal. Pada prinsipnya, katanya, perda tidak perlu dibuat terlalu ke-Islaman, tapi juga terlalu liberal.
Yang ideal, menurutnya adalah yang bisa mengadopsi kepentingan dan hak umat beragama, namun di sisi lain juga menciptakan ketertiban dan kesejahteraan bernegara. Itu sebabnya, katanya, yang pasti nilai-nilai Pancasila tidak bisa ditawar lagi.
"Bagaimana pun agama tetap menjadi asas atau tujuan kehidupan, tapi bernegara, bernegara kita pancasila. Kita bernegara dengan pancasila," tegasnya.
Itu sebabnya, untuk mengatur agar keduanya tidak berbenturan perlu dibuat mekanisme. Paling tidak, katanya, untuk mengadopsi syariat ke dalam perda atau hukum positif lainnya, harus memenuhi empat syarat.
Pertama peraturan tersebut harus berlaku umum sehingga tidak menyakiti pihak-pihak tertentu, kedua dilakukan secara bertahap. Ketiga, harus berusaha memperkecil beban, dan bukan justru malah memperberat menjalankan kewajiban beribadah dan keempat adalah menjadi tanggung jawab bersama.
"Selama empat syarat itu belum terpenuhi, maka masih sangat jauh kita untuk mempunyai UU atau peraturan yang bernapaskan Islam," jelasnya.
Sumber Data:
http://menkokesra.go.id/component/ op.com_login/Itemid,145/
Masalah: Bagaimana pun, katanya (KH. Hasyim Muzadi), harus dipahami bahwa syariat Islam mestinya dilakukan dalam konteks civil society dan bukan untuk konteks bernegara atau nation state. Syariat, jelasnya, harusnya dipahami dalam konteks hak setiap umat beragama untuk beribadah. Oleh karena itu, katanya, tidak bisa dijadikan sebagai hukum positif yang notabene berlaku secara umum.
Bantahan Penyusun: syari`at Islam sangat universal, sesuai dengan tuntutan zaman. Sangat cocok dan tepat untuk mengatur kehidupan ummat manusia; bahkan semesta alam, mulai dari urusan pribadi hingga bernegara
Jika ada yang menyatakan bahwa hukum Islam tidak tepat untuk dijadikan hukum atau ndang-undang bernegara, maka pernyataan seperti ini kurang tepat. Sebab sudah dibuktikan oleh Rasulullah sendiri, kemudian para sahabat,tabi`in dan generasi setelahnya bahwa syari`at islam itu mampu mengatur kehidupan bernegara dengan sangat baik.
Bukan berarti ketika syari`at Islam ditegakkan di sebuah negara lalu ummat non muslim dipersulit untuk menjalankan ritual keagamaannya. Jika ummat non muslim tidak mau memeluk dien Islam maka mereka tetap dibolehkan melakukan ritual keagamaannya dengan syarat membayar jaminan keamanan (jizyah) pada pemerintahan Islam (khilafah Islamiyah).
Pembayaran jizyah tersebut disesuaikan kemampuan mereka. Jika ada diantar mereka yang kaya maka akan diminta lebih banyak daripada orang yang miskin. Bahkan jika ada yang tidak mampu membayarnya karena sangat kemiskinannya maka orang tersebut dibebaskan dari pembayaran tersebut. Beda dengan hukum yang berlaku saat ini; di Indonesia khususnya, pembayaran pajak yang ditarik dari pemerintah setempat tidak membedakan antara yang berstatus kaya dan miskin.
Akhirnya sudah selayaknya hukum Islam ditegakkan di bumi ini agar negara yang memiliki ciri baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur dapat terwujud.
TENTANG DEMONTRASI
Unjuk Rasa Boleh, Asal Aman
Sejumlah kiai di Jawa Timur membolehkan unjuk rasa sebagai bentuk amar makruf nahi mungkar. Upaya mencegah kerusuhan dengan rambu-rambu fikih.
BOLEHKAH aksi unjuk rasa dari sudut pandang agama Islam? Para kiai Nahdhatul Ulama di Jawa Timur membahas kasus tersebut–rasanya ini pembahasan yang pertama kali. Tentu, bukan tanpa latar belakang (asbabun nuzul). Seperti diketahui, belakangan ini, kerusuhan yang merupakan buntut dari unjuk rasa marak di daerah-daerah kantung santri. Menyebut dua kasus besar, misalnya, protes masyarakat terhadap vonis atas Soleh yang menghina almarhum K.H. As’ad Syamsul Arifin, kiai besar dari Pesantren Asembagus, dan kerusuhan di Sampang akhir Mei lalu karena protes masyarakat atas kecurangan dalam pelaksanaan pemungutan suara.
Bahwa setiap muslim haruslah melakukan fungsi kritik sosial seperti yang tersurat dalam prinsip amar makruf nahi mungkar (menyuruh berbuat baik, mencegah perbuatan yang merusak), rasanya sudah diketahui umum. Namun, bagaimana cara melakukannya, apakah bisa dengan cara unjuk rasa, tampaknya para kiai perlu berembuk dulu. Tentu, maksudnya agar misi kritik tidak terjerumus ke perbuatan merusak yang tak sesuai dengan pesan Islam. Dan, itulah yang dibahas oleh Pengurus Wilayah Nahdhatul Ulama Jawa Timur dalam forum pengkajian masalah-masalah fikih yang dihadiri 300 orang, di Pesantren Alfattah Siman Sekaran, Lamongan, Sabtu dua pekan lalu.
Merujuk kitab-kitab kuning semacam Az-Zawaajir, Ihyaa’ Uluumuddiin, Jalaal ‘alal Minhaj dan I’aanatut Thaalibiin, para kiai nahdhiyyin itu berkesimpulan bahwa unjuk rasa dan pemogokan yang ditujukan untuk mengoreksi perorangan atau lembaga swasta maupun pemerintahan diperbolehkan. Prinsip amar makruf nahi mungkar menjadi dasar utama kesimpulan itu. Dalil lain yang mereka pakai adalah hadis kuat dan populer, “Man ro’a minkum munkaron fal yughoyyirhu bi yadihi, fain lam yastathi’ fal yughoyyirhu bi lisaanihi, fain lam yastathi’ fal yughoyyirhu bi qalbihi. Wa dhaalika ‘adh’aful iimaan.” Artinya, orang yang menyaksikan suatu kesalahan (kemungkaran) sedang berlangsung, hendaklah ia mencegah dengan otoritasnya, kalau tak bisa, hendaklah dicoba dengan bahasa kata, kalau tak mempan juga, baru dengan komitmen dalam hati, namun yang terakhir ini cermin iman yang lemah.
Lebih spesifik, mereka mencari landasan etik dari kitab Ihyaa’ Ulumuddiin karya Imam Ghazali. Ahli tasawuf dan pemikir besar Islam sepanjang zaman itu menguraikan cara mengimplementasikan pesan amar makruf nahi mungkar dalam empat tingkat. Ada yang dengan cara baik-baik, berupa penjelasan lisan, atau nasihat dengan tutur kata yang terjaga. Cara lain dengan peringatan keras berupa gertakan. Yang paling keras ya dengan cara paksa. Sayang, para kiai itu tak menjelaskan lebih detail cara paksa yang dimaksudkan.
Namun, apa benar unjuk rasa diperbolehkan? Nanti dulu. Sebab, pembolehan unjuk rasa dan mogok itu masih disertai berbagai catatan. Antara lain, unjuk rasa boleh-boleh saja asal tidak menimbulkan kerusakan yang lebih besar dan tidak membahayakan jiwa dan harta orang lain. Syarat lain, unjuk rasa baru boleh, bila jalan musyawarah memang sudah buntu. Dan, khusus untuk kritik yang ditujukan ke penguasa, yang boleh dilakukan sebatas memberi penjelasan dan nasihat. Mengapa begitu? “Soalnya, selama pemerintah tidak menganjurkan melakukan perbuatan kafir, misalnya, menyuruh menyembah berhala, selama itu kita tidak boleh memberontak,” kata K.H. Masduqi Mahfud, kiai yang ikut merumuskan hukum unjuk rasa itu.
K.H. Hasyim Muzadi, Ketua PW NU Jawa Timur, menjelaskannya dengan bahasa yang lebih gamblang. Menurut kiai lulusan Pesantren Gontor, Ponorogo itu, perlawanan terhadap lembaga, yaitu pemerintahan yang sah, tidak diperbolehkan. Ia membedakan pengertian antara pemerintah yang dalam Islam disebut imarah dan pejabat pemerintah yang disebut sulthon. “Lembaga pemerintah yang sah tidak boleh dilawan. Bahwa ada pejabat di pemerintahan yang salah (mungkar), ini yang harus ditindak,” kata Hasyim Muzadi.
Ada lagi penjelasan lain. “Unjuk rasa sebagai kanal aspirasi, hukumnya boleh. Yang perlu dijaga adalah eksesnya. Jangan sampai malah menyebabkan kerusuhan,” ujar Hasyim Muzadi. Dasar yang dipakai adalah kaidah ushul fiqh, “menolak bahaya tidak boleh dengan menciptakan bahaya.”. Dalam arti lain, “Kalau ada sesuatu yang salah (kemungkaran), ya, kemungkarannya itu yang diatasi, jangan membuat kemungkaran baru. Ibarat kalau menuntut kenaikan gaji dari perusahaan, jangan pabriknya yang dibakar, nanti kan malah menganggur,” tutur Hasyim Muzadi.
Sumber Data:
Masalah: “Lembaga pemerintah yang sah tidak boleh dilawan. Bahwa ada pejabat di pemerintahan yang salah (mungkar), ini yang harus ditindak,” kata Hasyim Muzadi.
Ada lagi penjelasan lain. “Unjuk rasa sebagai kanal aspirasi, hukumnya boleh. Yang perlu dijaga adalah eksesnya. Jangan sampai malah menyebabkan kerusuhan,” ujar Hasyim Muzadi.
Bantahan Penyusun: perlu adanya pelurusan kembali tentang makna pemerintahan yang sah dalam Islam atau yang tersebut dalam QS. An-Nisaa` (4): 59 yaitu ulil amri. Defini tersebut harus diambil dari perkataan para ulama` yang hidupnya dekat dengan Rasulullah; para sahabat, tabi`in dan generasi berikutnya. Sebab; khusunya para sahabat, sangat dekat dengan Rasullullah. Jika ada permasalahan yang tidak mereka fahami maka mereka langsung dapat menanyakan hal itu pada beliau sebagai nabi dan rasul terakhir. Hal ini tidak boleh dibantah, sebab para sahabat juga yang hidup di masa al-Qur`an diturunkan.
Adapun yang dimaksud dengan makna ulil amri pada ayat di atas adalah pemerintah yang berhhukum dengn hukum Islam/hukum Allah dan rasul-Nya (al-Qur`an dan as-Sunnah sesuai pemahaman kaum Salaf), bukan hukum buatan manusia seperti yang ada di Indonesia saat ini. Jika hukum Islam diberlakukan dan ditegakkan di Indonesia dan dipimpin oleh pemimpin yang muslim pula, maka kaum muslimin tidak boleh memberontak untuk memisahkan diri dari pemerintahan tersebut, sebagaimana yang dilakuan oleh imam Ahmad.
0 komentar:
Posting Komentar