Kalau ANDA mengerti tentang Ilmu Ketatanegaraan, ANDA harus tahu bahwa hukum yg dipakai dan berlaku di negara manapun termasuk Indonesia adalah hukum/UU yg disahkan oleh negara ybs. Dalah hal di Indonesia, hukum pemerintahan Indonesia BUKAN hukum Islam. Perlu anda sadari bahwa bukan lantas kalau masyarakan suatu negara mayoritas agamanya adalah Islam lantas hokum pemerintahan otomatis Islam pula. ANDA salah besar. Kalau begitu yg anda maksud tanpa anda sadari selama ini itu artinya tdk perlu ada pemerintah untuk menyusun dan membuat hukum/UU toh otomatis dengan sendirinya yg berlaku harus hukum apa begitu ??? ANDA perbaiki diri dulu dalam konteks berpikir dan bersikap dalam hidup bermasyarakat anda sehari-hari yaitu pakai hukum pemerintahan indonesia BUKAN pakai hukum Islam dsb dlm penyelenggaraan pemerintahan indonesia.
Konteks tulisan anda tentang hukum Islam bisa dipakai apabila negara ini SUDAH NEGARA ISLAM. TAPI NEGARA KITA NEGARA PANCASILA. Artinya hukumagama hanya dibatasi ruang geraknya hanya untuk pemeluknya dan DIBATASI dalam konteks dilingkungan ibadat bukan sampai mencampuri apalagi mencoba mempengaruhi scope yg lebih jauh mencampuri/mempengaruhi hukum di Indonesia apapun kekurangannya sekalipun tidak bias hukum islam atau hukum agama manapun yg bias menyisipkan apalagi menggantikannya. Pola pikir yg masih sesat cara pandang anda idi bawah. Coba ANDA berbicara dengan pergunakan batin bukan otak. Hati Nurani yg seharusnya menjadi nahkoda dan otak sebagai pelkaksana bukan sebaliknya...membuat otak sebagai nahkoda dan hati nurani sebagai pelaksana..SALAH BESAR.
Heart of Hearts
--- Abu Raihan
Tindak pidana dalam sistem hukum pidana Indonesia hanya dibagi menjadi dua kelompok saja yaitu kejahatan dan pelanggaran tanpa batasan yang jelas. Sedangkan pidana dalam Islam, buku-buku fikih telah membagi tindak pidana menjadi tiga kelompok, yaitu hudud, jinayat dan ta'zir. Dalam penjelasan dibawah penulis berusaha menunjukkan perbedaan pengelompokan dalam fikih ini dibandingkan dengan pengelompokan dalam hukum pidana sekuler, bahwa pengelompokan tindak pidana dalam fikih adalah lebih prinsipil dan logis daripada pengelompokan dalam hukum sekuler.
Dari sini diharapkan kita bisa melihat hukuman manakah yang paling efektif untuk mencegah kejahatan atau untuk memberi peringatan sehingga orang enggan melakukan tindak pidana.
-------
Hukum Pidana Islam dan Upaya Penerapannya di
Indonesia
Prof. Dr. H. Al Yasa Abubakar, MA.
Berbicara tentang upaya penerapan Hukum Pidana Islam di Indonesia,
dapat dianggap merupakan sesuatu yang susah-susah gampang. Untuk sebagian orang pekerjaan ini relatif sangat sederhana, hanya bergantung pada keinginan politik Pemerintah, seperti kita dengar dalam beberapa ceramah dan statemen yang diucapkan atau dikutip oleh surat kabar. Menurut kelompok ini, kalau pemerintah setuju dan menyatakannya berlaku maka secara serta merta hukum Pidana Islam akan berlaku dan boleh dikatakan selesailah persoalan. Mengenai persoalan teknis pengamalannya di pengadilan, adalah soal sederhana yang dapat diselesaikan secara bertahap sambil berjalan. Aturan yang ada dalam berbagai buku fikih telah cukup memadai bahkan lebih dari cukup sebagai pegangan para hakim dan para pihak (tersangka, pembela dan sebagainya) baik dalam menentukan aturan (rumusan) pidana materilnya dan juga ketika beracara di depan pengadilan.Sedang untuk sebagian yang lain, persoalannya dianggap relatif rumit, karena harus menentukan sistem peradilannya terlebih dahulu, menyusun kodifikasi dengan berbagai detailnya semisal pengertian dan persyaratan berbagai delik, bentuk dan berat ringannya hukuman dan yang tidak kalah pentingnya adalah pembuatan hukum acara yang dianggap tidak bertentangan dengan Hak Asasi Manusia. Setelah ini masih perlu lagi penyiapan tenaga yang memadai yang akan menjalankan semua aturan tadi dengan baik, benar serta sungguh-sungguh. Jadi persoalannya bukanlah sekadar kemauan politik, tetapi berkaitan dengan banyak hal, mulai dari yang besifat akademis, teoritis, politis, sampai kepada yang bersifat praktis, yaitu mengenai berjalannya sidang di pengadilan dan juga mengenai eksekusi yang akan dijalankan. Terlepas dari dua kecenderungan yang relatif berbeda ini, makalah ini ingin melihat persoalan penerapan hokum pidana Islam di Indonesia dari dua segi, pertama membandingkan hukum pidana syariat Islam dengan hukum pidana yang berlaku di Indonesia sekarang dan setelah itu langkah-langkah yang dianggap perlu untuk melaksanakannya secara nyata di tengah masyarakat; beserta hambatan yang mungkin akan muncul yang harus disingkirkan. Untuk memperluas cakrawala dirasa perlu memberikan sedikit uraian tentang keadaan (sejarah) hukum pidana sebelum Belanda datang serta upaya Belanda menggusur hokum pidana Islam yang telah berakar di masyarakat guna diganti dengan hukum pidana mereka. Pembahasan akan diakhiri dengan beberapa kesimpulan dan saran.
Perlu disebutkan istilah hukum pidana Islam dalam tulisan ini dibedakan kepada dua hal: hukum pidana fikih dan hukum pidana syariat. Istilah pertama digunakan untuk merujuk aturan-aturan mengenai kepidanaan yang telah dirumuskan para ulama seperti yang dapat kita temukan di dalam berbagai mazhab dan buku fikih. Sedang istilah kedua digunakan untuk merujuk kepada prinsip-prinsip kepidanaan yang tercantum di dalam Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah, yang perlu kepada penjelasan dan perumusan agar dapat dianggap sebagai peraturan praktis. Dengan demikian istilah yang pertama boleh jadi mengacu kepada aturan yang bersifat lokal dan temporal, sedang yang kedua mengacu kepada aturan atau prinsip-prinsip yang selalu bersifat universal. Sedang istilah hukum pidana Indonesia, digunakan untuk menunjuk kepada hukum pidana yang sekarang berlaku di Indonesiadan dalam hal tertentu akan
disejajarkan dengan istilah hukum pidana sekuler.
Sebelum Belanda datang ke Indoensia, banyak bukti dan catatan yang menunjukkan bahwa hukum pidana Islam telah berlaku di beberapa wilayah yang relative kuat keislamannya. Kerajaan Malaka telah menyusun sebuah kitab hukum yang terkenal dengan nama Kan ii Melaka. Kitab ini merupakan salah satu kodifikasi tertua yang ditemukan di wilayah Nusantara ini. Buku ini antar lain memuat aturan pidana yang sebagiannya merupakan percampuran hukum adat dengan fikih Islam, sedang sebagiannya sudah merupakan hukum fikih murni. Beberapa istilah fikih, seperti diyat, qishash dan zina, begitu juga beberapa jenis hukuman fikih telah diperkenalkan. Kodifikasi yang ditulis sebagian ulama untuk digunakan oleh badan pengadilan atas permintaan sultan sebagai pegangan para hakim dalam kerajaan mereka, asalnya Aceh dengan jelas mencantumkan aturan pidana dan hukuman (walaupun dengan sedikit penyesuaian) seperti yang ditemukan di dalam berbagai kitab-kitab fikih. Beberapa penulis Belanda telah mencatat bahwa ketika penjajah Belanda tiba di Indonesia, di berbagai wilayah kesultanan Islam, telah berlaku hukum pidana Islam (yang sebagiannya masih bercampur dengan hukum adat) yang oleh mereka dijadikan bahan cemoohan karena dianggap bengis, kejamdan tidak manusiawi. Penjajah Belanda sendiri pada masa awal kedatangannya ketika membuat kodifikasi hukum untuk kebutuhan penduduk Bumiputera, secara sadar atau tidak telah menyebutkan berbagai jenis kejahatan dan hukuman berdasar fikih Islam, sepeti Pepakem Tjirebon (I758) dan Kompendium Freijer (I760). Tetapi buku hokum yang berisi hukum fikih Islam ini dihentikan Belanda pemberlakuannya karena dua alasan: ada gugatan dari sebagaian masyarakat bahwa isi kitab ini tidak betul-betul dilaksanakan di tengah masyarakat; dan yang kedua hukuman yang tercantum di dalamnya dianggap terlelu kejam dan bengis. Setelah menghentikan pemberlakuan hukum fikih ini Belanda memaksakan hukum pidana mereka sendiri yang pada masa itu tentu sangat asing bagi rakyat, seperti akan diuraikan di bawah.
Hukum Pidana yang sekarang berlaku di Indonesia adalah hukum pidana peninggalan penjajah Belanda, yang diberlakukan secara paksa. Belanda datang di bawah payung perusahaan dagang dengan kekuasaan pemerintahan, yaitu VOC. Sejak pertama datang (I596) pedagang (penjajah) Belanda secara berangsur angsur mencampuri urusan hukum di kalangan rakyat pribumi yang dia temui. Belanda memaksakan hukum dan tata peradilan mereka terhadap semua penduduk dan dalam semua masalah (perdata pidana dan dagang)dan tidak perduli dengan hukum serta pengadilan yang dibuat penduduk yang mereka temui di daerah yang ditaklukkan itu. Mereka memperkenalkan dan memberlakukan hukum yang dibawa dari negeri Belanda di wilayah jajahan ini.
Aturan-aturan ini oleh penguasa VOC dituangkan dalam bentuk plakkaten (maklumat) atau ordonnatien (undang-undang) secara terpisah-pisah, sedikit demi sedikit, sehingga sebagiannya menjadi tumpang tindih dan saling bertentangan. Menghadapi kesemrawutan ini, dalam waktu yang tidak terlalu lama, peraturan yang terpencar-pencar dan sebagiannya saling tidak sejalan ini (bidang perdata dan pidana) mereka himpun dalam sebuah kitab hukum (wetboek) yang diberi nama Ordonnatien en Statuten van Batavia (Undang-undang serta Peraturan kota Betawi), ditetapkan pada tanggal 5 Juli 1642.
Tetapi kekuasaan Belanda (VOC) tidak cukup kuat untuk memaksakan hukum dan peradilan mereka ini kepada semua lapisan penduduk di semua tempat (desa) dalam wilayah yang telah mereka kuasai itu. Soepomo menyimpulkan: ... bahwa di dalam daerah yang termasuk di dalam lingkungan kekuasaan VOC, susunan pengadilan VOC (adalah berlaku. sic) untuk bangsa Indonesia berdasar alas hukum Belarida, akan tetapi keadaan memaksa VOC uniuk membiarkan bangunan asli yang telah ada, oleh karena VOC tak dapat menjalankan kemaziannya didalam praktijk.' Bangunan asli yang dimaksud di sini adalah hukum adat yang berlaku di tengah masyarakat. Untuk ini perlu dicatat, pembiaran ini cenderung terbatas dalam bidang perdata dan hukum keluarga (agama), sepanjang hal tersebut tidak berkaitan dengan kepentingan
mereka,
Abstract
Negara adalah suatu organisasi yang besar, mempunyai tugas untuk pelaksanaan usaha pencapaian tujuan secara nasional dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan kelestarian kehidupan bangsa dan negara. Menjaga dan memelihara eksistensi negara agar tetap bertahan hidup (survive), bukanlah suatu hal yang mudah. Negara senantiasa diperhadapkan dengan berbagai ancaman yang membahayakan eksistensinya, baik yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya sendiri. Salah satu bentuk ancaman yang membahayakan negara ini adalah kejahatan/tindak pidana makar. Dalam hal ini kemudian penulis tertarik untuk mengangkat penelitiaan dengan judul: "Makar dalam Hukum Pidana Positip dan Hukum Pidana Islam". Di sini penulis menggunakan metode penelitian deskriptif normatif untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai tindak pidana makar, kemudian disesuaikan dengan norma hukum pidana positip yang sekarang berlaku berlaku di Indonesia dan hukum pidana Islam (Jinayat) dengan dasar alasan bahwa masyarakat Indonesia merupakan mayoritas beragama Islam. Berdasarkan komparasi konsep makar yang terdapat pada hukum positip dan hukum pidana Islam diperoleh persamaan dan perbedaan tentang ketentuan makar. Persamaannya adalah bahwa konsep makar menurut hukum pidana positip dan hukum pidana Islam adalah sama-sama bentuk kejahatan/tindak pidana yang ditujukan terhadap kekuasaan negara dan digolongkan sebagai kejahatan politik, serta menurut hukum pidana positif dan hukum pidana Islam percobaan dan permufakatan untuk melakukan kejahatan makar tetap dapat dipidana. Adapun perbedaannya adalah bahwa dalam hukum pidana positif seseorang yang tidak memenuhi program pemerintah tidak dianggap makar. Sementara itu, menurut hukum pidana Islam, yang disebut makar ialah umat muslim yang hendak mencopot pemimpin negara dan yang tidak melaksanakan kewajiban yang berhubungan dengan hak Tuhan atau manusia, seperti membayar zakat, atau tidak mau menyatakan kesetiaan dan tunduk kepada penguasa tertinggi Dari uraian dan pambahasan tentang konsep tindak pidana makar ini, penulis mengambil kesimpulan bahwa baik menurut hukum pidana positip maupun hukum pidana Islam kejahatan/ tindak pidana makar adalah merupakan bentuk kejahatan yang sangat berbahaya dan juga dikategorikan sebagai kejahatan politik yang memiliki ciri motif dan tujuan yang berbeda dari kejahatan biasa serta diancam dengan sanksi pidana yang berat. Karena tindak pidana makar ini pada dasarnya adalah konflik vertikal yang terjadi antara rakyat dan pihak penguasa negara, maka demi mencipta kan hubungan yang harmonis antara rakyat dan pihak pemguasa, penulis menyarankan agar pihak pemerintahan sebagai pemegang kekuasaan negara harus dapat melaksanakan pemerintahan yang mengedepankan prinsip-prinsip demokratis, good govermen, melakukan pembangunan yang merata bagi seluruh daerah, serta menanamkan rasa nasionalisme kebangsaan dan persatuan melalui pendidikan bagi seluruh warga negara Indonesia, dan rakyat sendiri juga harus dapat memahami hak dan kewajibannya sebagai warga negara yang baik.
KEJAHATAN TERORISME PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM KONTEMPORER
Oleh : MOCH KUSNADI - NIM. 04370007, Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga.
Terorisme merupakan kejahatan terhadap peradaban dan salah satu ancaman serius terhadap kedaulatan tiap negara. Kejahatan terorisme dilakukan dengan cara-cara anarkis yang banyak mengorbankan orang-orang yang tidak berdosa. Kejahatan ini dilakukan secara terorganisir dan sistematis dengan melibatkan jaringan antar negara. Memang tidak bisa disalahkan jika terorisme dikaitkan dengan persoalan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Dalam hukum pidana islam kejahatan terorisme tidak nyata-nyata disebutkan dalan al-Qur’Än dan as-Sunnah, akan tetapi untuk mengkategorikan bahwa kejahatan terorisme termasuk dalam tindak pidana (jarÄ«mah) dalam hukum pidana Islam harus dilakukakan suatu penelitian yang komprehensif dan bercorak akademis, agar dalam mengkategorikan kejahatan terorisme tersebut juga dapat dipertanggungjawabkan secara akademis. Dalam hukum pidana Islam terdapat banyak syarat dan unsur yang harus dipenuhi apakah sebuah tindakan yang telah dikerjakan termasuk dalam tindak pidana, baik yang berkaitan dengan syarat formil ataupun syarat materiil. Demikian juga apakah kejahatan terorisme termasuk dalam jarÄ«mah hudÃ…«d, jarÄ«mah qiÅŸaÅŸ diyat ataupun jarÄ«mah ta’zir. Dengan melihat dampak yang diakibatkan oleh kejahatan terorisme apakah bertentangan dengan nilai-nilai maqaÅŸyid syari’ah yaitu; perlindungan terhadap agama, perlindungan terhadap jiwa dan keturunan, perlindungan terhadap akal, dan juga perlindungan terhadap harta benda. Hukum pidana Islam sangat memperhatikan nilai dan prinsip-prinsip yang terkandung dalam maqaÅŸyid syari’ah tersebut. Peenyusun merasa tertarik untuk meneliti apakah kejahatan terorisme yang secara anarkis dan menimbulkan banyak korban dan dilakukan secara terorganisir dan sistematis dengan melibatkan banyak kepentingan, benar-benar dapat dikategorikan sebagai jarÄ«mah hudÃ…«d dalam hukum pidana Islam kontemporer. Dan juga bagaimana pertanggungjawaban pidananya terhadap para pelaku kejahatan terorisme tersebut berdasarkan ketentuan perundang-undangan. Untuk dapat menjawab problem di atas, penyusun menggunakan metode deskriptif-analitik, yaitu manganalisa secara kritis pemikiran yang ada kaitannya dengan permasalahan kejahatan terorisme dan dari perspektif hukum pidana Islam kontemporer serta menggunakan pendekatan normatif dan pndekatan sosiohistoris agar dapat mengetahui secara lebih detail berbagai konsep, batasan dan berbagai permasalahan yang ada dalam kejahatan terorisme kaitannya dengan hukum pidana Islam kontemporer, yang kemudian dapat dikritisi secara cerdas dan terarah. Dalam melakukan pndekatan ini, penyusun menggunakan tolak ukur norma hukum, baik hukum Islam (kontemporer) ataupun hukum positif yang berlaku yang sudah terjamin kebenarannya. Setelah penyusun melakukan penelitian secara akademis mengenai kejahatan terorisme perspektif hukum pidana Islam kontemporer dapat disimpulkan bahwa terorisme adalah termasuk tindak pidana (jarÄ«mah HudÃ…«d). Hal ini di qiyÄskan dengan persoalan jarÄ«mah hirÄbah (penyamunan). Sedangkan menurut Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana teroriseme, yang termasuk dalam kategori kejahatan terorisme adalah: Setiap orang yang dengan menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan, menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas, menimbulkan korban secara massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, menyebabkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional. Pertanggungjawaban pidana terhadap para pelaku terorisme didasarkan pada sejauh mana keterlibatan dalam aksi teror tersebut.
Hukum, milik siapa … ?
Rusdiana Sukarna
23 Januari 2003
Belum lama ini, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memutuskan salah satu Pejabat Tinggi Negara terbukti melakukan korupsi dalam penyaluran dana nonbudgeter Bulog sebesar Rp. 40 milyar dan dihukum tiga tahun penjara (Jumat, 17/1/03). Namun sampai hari ini, tidak ada tindakan lebih lanjut untuk menjalankan eksekusi putusan hakim tersebut. Ia masih bisa bebas dan bahkan menyatakan dirinya tidak bersalah.
Sementara pada situasi yang berbeda, kita tentu akan dengan mudah menyaksikan maling-maling ayam atau sandal jepit -yang mungkin karena tuntutan ekonomi, ia melakukan perbuatan tersebut- harus digelandang ke sel tahanan walaupun belum diputuskan bersalah. Belum lagi ia mesti mendapatkan penyiksaan-penyiksaan yang dilakukan oleh aparat ketika dalam sel tahanan tersebut. Sungguh suatu pemandangan ironis, para koruptor yang terbukti telah bersalah masih dibiarkan bebas. Sementara penjahat kelas teri, aparat penegak hukum menindaknya dengan sigap lagi cekatan dan bahkan memberikan hukuman yang tidak sesuai dengan perbuatannya.
Bukan maksud penulis untuk membenarkan tindak kejahatan. Sekecil apapun yang namanya kejahatan adalah suatu pelanggaran yang karenanya harus mendapatkan hukuman. Permasalahannya adalah mengapa masih terjadi diskriminasi hukum? Bukankah di hadapan hukum, kita semua sama dan setara ? Rasulullah sendiri sebagai pemimpin pernah menegaskan, jika saja Fathimah -putrinya yang sangat disayangi- mencuri maka beliau akan memotong tangannya (hadits).
Status sosial menjadi penyebab terjadinya diskriminasi hukum kita. Status tersebut bisa berupa kedudukan, kekerabatan ataupun strata ekonomi. Sehingga berlaku adagium yang menyatakan bahwa semakin tinggi status sosial seseorang maka semakin sukar hukum untuk menjangkaunya, sebaliknya semakin rendah status sosial seseorang maka semakin mudah hukum melingkupinya. Sedangkan Allah memerintahkan kepada kita untuk berlaku adil dengan tanpa pandang bulu, baik atas kita sendiri, atas orang-orang yang kita kasihi ataupun atas kerabat dekat kita, kaya ataupun miskin (QS. Al-Nisa, 4 : 135).
Hukum ternyata tak berdaya terhadap orang yang mempunyai akses sosial, politik dan ekonomi yang kuat dibandingkan terhadap rakyat kecil yang tidak mempunyai kekuatan apa-apa. Hukum terlihat begitu jumawa dan perkasa. Seorang maling ayam atau copet bisa langsung digebuki massa bahkan sampai tewas. Ketika diadili pun mereka tetap berada di tahanan sampai putusan dibacakan oleh hakim. Hukuman badan dari aparat bisa langsung dijalankan tanpa harus menunggu keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Melihat demikian, sangat ironis kondisi penegakan hukum kita yang menganut asas persamaan di muka hukum. Diskriminasi hukum yang kebanyakan menimpa rakyat kecil semakin menambah kesan bahwa hukum hanya memihak pada golongan yang berstatus sosial tertentu. Sehingga keadilan menjadi barang mahal bagi rakyat kecil.
Dimanakah Keadilan ?
Aspek keadilan merupakan hakikat refleksi implementasi dan proses penegakan hukum. Sedangkan konsep keadilan seringkali berada di luar area teks-teks hukum. Oleh karenanya penegakan keadilan harus mengedapankan pertimbangan hati nurani dan moralitas. Legitimasi keadilan terletak pada kecerdasan, wibawa, kejujuran, tanggung jawab dan integritas moral dari setiap aparat penegak hukum.
Namun kenyataannya, penegakan hukum kita lebih banyak mendasarkan pada kegiatan menyerasikan teks-teks hukum, dengan merunut peraturan hukum yang berbentuk tertulis atau legal formal. Teks-teks ini pada prakteknya akan membuka ruang-ruang multi-interpretasi yang luas bagi penegak hukum. Celakanya sebagian besar aparat penegak hukum kita merasa dapat memonopoli atas interpretasi terhadap teks-teks hukum. Sehinggga yang ada adalah upaya mencari pembenaran terhadap sebuah keputusan. Dan pada gilirannya tidak jarang praktek demikian akan mengusik rasa keadilan di hati rakyat. Pertimbangan rasio yang selalu dikedepankan menyebabkan hukum seringkali diakali dan menjadi akal-akalan para penegak hukum. Hukum seolah memberikan apologi-apologi dan pembenaran-pembenaran terhadap setiap proses dan implementasi keputusan penegak hukum. Sehingga para penegak hukum merasa bebas dosa dari semua prakteknya itu, walau -disadari ataupun tidak- keputusannya bertentangan dengan nilai-nilai keadilan.
Demikian halnya pada sebagian besar kasus-kasus korupsi yang notabene menyangkut mereka yang berstatus sosial tinggi dan cukup dekat dengan akses kekuasaaan. Resistensi mereka terhadap hukum sangat tinggi dan akhirnya hukum seakan kehilangan efektifitasanya. Dalil asas “praduga tak bersalah” hanya berlaku untuk para koruptor. Asas ini yang akan memberi kekuatan imun terhadap sanksi hukuman badan secara langsung. Sedangkan pada rakyat kecil yang berlaku adalah asas ‘praduga bersalah’ yang tanpa menunggu keputusan pengadilan bisa langsung dikenai hukuman badan.
Lemahnya penegakan hukum terhadap kasus korupsi -disadari ataupun tidak- disebabkan lepasnya koridor semangat mencari keadilan. Para koruptor kelas kakap yang telah mengambil triliyunan harta negara terlihat mempunyai kedudukan istimewa di muka hukum. Sementara rakyat kecil yang mencuri harta tidak seberapa nilainya terkesan tidak mendapat perlindungan hukum semestinya. Padahal, bisa jadi ia mencuri karena himpitan ekonomi dimana negara tidak bisa lagi menjamin kesejahteraan hidup mereka. Umar bin Khaththab sendiri pernah memberikan vonis bebas terhadap pencuri yang seharusnya dikenakan hukum potong tangan dikarenakan keadaan pada masa itu sedang krisis (paceklik).
Lantas ........
Ketika bangsa kita sedang dilanda krisis multi dimensional, pemerintah sendiri dalam kenyataannya tidak memiliki sense of crisis dan kepedulian terhadap masyarakat. Menjadikan rakyat sudah tidak lagi percaya pada pemerintah ditambah lagi dengan kebijakan-kebijakan pemerintah yang seringkali menambah penderitaan mereka namun memberi kenyamanan terhadap para konglomerat dan pejabat nakal.
Dekatnya akses kekuasaan dari para pelaku korupsi setidaknya juga ada hegemoni kekuasaan pada proses penegakan hukum. Penetrasi kekuasaan terkesan di atas segalanya, artinya pertimbangan politis lebih penting dari aspek hukumnya sendiri.
Korupsi sebagai mega-kejahatan sudah cukup menyengsarakan dan menggeramkan hati rakyat, apalagi di tengah kondisi krisis yang masih menggayut. Hukum harus dapat merespon rasa keadilan di hati rakyat banyak.
Sudah saatnya penegakan hukum menjadi barometer keberhasilan dan legitimasi sebuah kekuasaan yaitu dengan tegaknya keadilan. Keseriusan yang dibarengi aksi nyata untuk tegaknya keadilan seperti usaha pemberantasan korupsi, mungkin dapat menjadi moment kebersamaan antar pemerintah dan rakyatnya untuk sama merasakan beratnya kondisi krisis ini. Sehingga terwujud satu perasaan bahwa rakyat dan pemerintah adalah korban para koruptor. Sementara selama ini hanya satu sisi saja yaitu rakyat sebagai korban pemerintah yang korup. Wallahu a’lam.
Judul: <b>Re: 40 kasus ttg Umar menyeLisihi Nabi
Kutip dari: fahmie ahmad pada November 17, 2008, 06:17:06 am
Umar menilai bahwa potong tangan adalah solusi yang paling akhir dalam kasus pencurian. beliau menetapkan beberapa syarat dan batasan untuk seorang pencuri yang nantinya terkena hukum potong. di masa nabi, penetapan ini tidak pernah dilakukan. akibatnya, di masa umar, ada pencuri yang tak dipotong karena syarat pemotongan tangan tidak terpenuhi. mungkin dalam era modern dapat disebut dengan
Judul: Re: 40 kasus ttg Umar menyeLisihi Nabi
Ditulis oleh: Luthi
40 kasus diantaranya, umar menghilangkan "muallafah qulubuhum" dari deretan nama mustahiq zakat, umar mengusulkan pada abu bakr untuk menulis al-qur'an, umar menulis sunnah padahal di zaman nabi tidak dibolehkan, permasalah mut'ah haji, permasalah pengumpulan shalat tarawih, permasalahan mirats ( warisan ), permasalahan hudud ( terutama potong tangan ), dan masih banyak lagi.
Ijtihad dan kemaslahatan sosial
Judul buku : Ijtihad, Antara Teks, Realitas dan Kemaslahatan Sosial
Penulis : Ahmad Al-Raysuni dan Muhammad Jamal Barut
Penerbit : Erlangga Jakarta
Cetakan : 1, Agustus 2006
Tebal : 139 halaman
Peresensi : Muhammadun AS (Penulis adalah Pustakawan, Tinggal di Yogyakarta)
Penulis : Ahmad Al-Raysuni dan Muhammad Jamal Barut
Penerbit : Erlangga Jakarta
Cetakan : 1, Agustus 2006
Tebal : 139 halaman
Peresensi : Muhammadun AS (Penulis adalah Pustakawan, Tinggal di Yogyakarta)
Ijtihad merupakan proyek paling monumental umat Islam dalam mengaktualisasikan ajaran agama agar sesuai kepada perkembangan jaman dan memberikan kemaslahatan sosial kepada publik. Pintu Ijtihad merupakan pintu pencerahan (enligtenment) Islam memasuki era keemasan dijaman pertengahan. Islam hadir sebagai mercusuar peradaban dunia yang menyinari kegelapan masyarakat Eropa, yang waktu itu masih bangga dengan ketidakmampuannya membaca.
Namun sayang, pintu Ijtihad yang mengantarkan Islam dijaman keemasan tersebut ternyata dikunci oleh sebagian umat Islam. “Pintu Ijtihad sudah tertutup”, begitu kata mereka. Pada awalnya, mereka mengatakan itu sebagai langkah antisipatif, agar umat Islam tidak sembarangan berijtihad. Namun jargon tersebut dikemudian hari malah diyakini sebagai sebuah “doktrin” yang tidak boleh dilanggar. Tidak salah kalau kemudian umat Islam terjebak dalam kejumudan yang mengakibatkan umat Islam mengalami keterbelakangan di berbagai bidang kehidupan, ilmu pengetahuan, tekonologi, ekonomi, politik, kebudayaan dan pendidikan.
Buku yang hadir dihadapan pembaca ini berusaha membangkitkan kembali spirit Ijtihad yang terkunci sebelumnya. Dasar gagasan ini sebenarnya sudah dimulai sejak jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh diawal abad ke-20 yang terus mengkampanyekan kepada dunia Islam akan pentingnya membuka pinti Ijtihad. Guru dan murid tersebut menjadi tolak punggung kebangkitan dunia Islam, terlebih ditengah gagap gempita arus informasi global. Keduanya sepakat, memasuki dunia modern yang sarat dengan gejolak sosial, umat Islam wajib membuka kembali pintu Ijtihad disegala bidang. Tanpa terbukanya pintu Ijtihad, keduanya khawatir Islam akan semakin terbelakang dan gagal menjalankan peran profetik agamanya sebagai rahmatan lilâۉ„¢alamin. Islam akan terhimpit dipersimpangan jalan yang hanya menjadi penonton yang terus dipermainkan.
Mengamini gagasan kedua pendekar kebangkitan Islam ter sebut, Ahmad Raysuni - ulamaâۉ„¢ Fikih asal Maroko-, dan Muhammad Jamal Barut âۉ€Å“cendekiawan, essais, dan kritikus asal Suriah- menuangkan gagasan tentang Ijtihad tersebut dalam buku ini. Keduanya pemikir ini bersepakat bahwa tujuan utama berijtihad adalah mengantarkan Islam sebagai kemaslahatan sosial. Cuma metodologi yag digunakan keduanya sedikit berbeda. Raysuni sebagai ahli Fikih lebih cenderung mendasarkan pendapatnya pada kelompok literalis, yang mash menempatkan teks sebagai acuan utama menentukan kemaslahatan. Dia sepakat bahwa inti syariah adalah demi kemaslahatan sosial. Namun ukuran keaslahatan sosial bagi Raysuni harus ditentukan dengan dasar teks agama yang ada dalam al-Quran, Hadits, dan ulama salaf.
Berbeda dengan Raysuni, Jamal Barut sebagai sosok cendekiawan, melihat kemaslahatan dapat ditentukan oleh manusia dengan akal sehatnya. Jamal Barut mencontohkan pemikiran Khalifah Umar bin Khattab (w. 644 M) yang dalam masa kepemimpinannya berani keluar dari makna harfiah teks al-Quran dan tidak memberlakukan teks al-Quran dengan alasan kemaslahatan. Khalifah Umar berani tidak membagi seperlima tanah rampasan perang kepada tentara, melarang perkawinan mutâۉ„¢ah, menghentikan hukum potong tangan bagi pencuri di masa kekeringan dan kelaparan, dan menghapus pembagian zakat untuk mualaf. Spirit kemaslahatan sosial beradasarkan konteks zaman sebagaimana yang dicontohkan Umar adalah bukti, bagi Jamal Barut, bahwa kemaslahatan sosial dapat ditentukan akal. Spirit jargon ini juga yang kemudian dijalankan Abu Hanifah dalam mazhabnya di Irak yang berseberangan dengan mazhab Imam Malik di Madinah. “Syariah adalah kemaslahatan dan kemaslahatan adalah syariah” itulah jargon utama Jamal Barut dalam buku ini.
Gagasan Jamal Barut ini juga senada dengan para pemikir Islam kenamaan Timur Tengah yang telah dikenal publik Indonesia dewasa ini, seperti Hassan Hanafi, Muhammad Arkoun, Nasr Hamid Abu Zaid, Muhammad Syahrur. Juga senada dengan pemikir moderat Islam seperti Abdurrahman Wahid, Nurcholis Madjid, Masdar F. Masâۉ„¢udi, dan sebagainya. Ijtihad yang dihadirkan mereka sama sekali tidak ingin mengesampingkan teks. Mereka tetap dalam teks, tetapi sifatnya melampaui teks (go beyond the texs).
Dengan kerangka ini, mereka dapat menempatkan Islam dalam menjawab berbagai problem kontemporer yang terus berkembang setiap saat. Kalau dalam hadits Nabi setiap penghujkung seratus tahun akan muncul seorang mujaddid dalam Islam, maka dalam konteks go beyond the texs, setiap menit, detik, bahkan setiap saat, umat Islam harus menelurkan mujaddid baru. Karena Ijtihad dalam masa Nabi tidak sekompleks jaman sekarang.
Di tengah arus informasi global yang begitu luar biasa, mujadddid atrau mujtahid harus terus lahir menghiasai perkembangan jaman, agar setiap persoalan sosial terus mendapatkan respon umat Islam.
Gerbang berijtihad untuk kemaslahatan sosial yang terus digelorakan para cendekiawan Muslim di berbagai negara, termasuk penulis buku ini, harus terus dikembangkan terus menerus. Karena teks yang tersedia dalam ajaran agama sangatlah terbatas, sementara fenomena sosial yang ada dimasyarakat terus berkembang tanpa henti. Disinilah, buku ini sangat penting untuk mencambuk umat Islam agar terus menerus melahirkan generasi baru yang lebih dinamis, progresif, dan responsive, sehingga jargon Islam sebagai rahmatan lilâۉ„¢alamin akan terbukti disetiap masa dan waktu. (IC)
Seorang kawan pernah berteriak pada saya "....dasar Islam KTP!!!" apapun alasan dia mengeluarkan pernyataan seperti itu, rasanya tidak perlu saya bahas disini, malu :). Yang pasti saya hanya tersenyum, dan gawatnya...saya tidak sakit hati ataupun berusaha menyangkal, nah pertanyaannya gampang, apabila lontaran itu ditujukan kepada Anda, apa yang Anda rasakan ? tentunya ini sangatlah subjektif dan privasi sifatnya.<br />
Saya tidak ingin membahas bagaimana berIslam yang kaffah disini, karena saya bukan seorang ahli agama, dan tujuan saya menulis artikel ini adalah sekedar membuka wacana dan sedikit menunjukkan fenomena apa yang terjadi di Indonesia tercinta ini. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Indonesian Survey Circle ada hal yang sangat menarik perhatian saya yakni, mengenai penerapan hukumIislam di Indonesia dan secara implisit menunjukkan bagaimana persepsi mayoritas muslim di Indonesia, yang mencapai 85 persen dari total jumlah penduduk Indonesia tersebut menerangkan bahwa rata-rata 70 persen muslim Indonesia menolak penerapan hukum islam seperti hukuman potong tangan untuk pencuri, memakai jilbab untuk kaum hawa dan hukum rajam bagi para pezina. Entah disadari atau tidak, meskipun penelitian tersebut pantas dipertanyakan karena jumlah sampel yang kurang relatif kurang mewakili populasi Muslim, akan tetapi secara implisit angka tersebut menunjukkan penolakan terhadap penegakan hukum Islam, entah dalam konteks penerapan dalam lingkup negara ataupun dalam lingkup pribadi. Sahabat saya pernah berkata, harus dibedakan antara Islam, orang Islam dan perilaku Islami, artinya apabila ada orang Islam tidak berperilaku Islami, kemudian kurang bijak jikalau lantas semena-mena menyalahkan Islam sebagai agama. Apabila kita coba mengkontekskan wacana tersebut ke dalam angka yang tertera diatas, apabila 70 persen orang menolak penerapan hukum Islam di Indonesia, apakah lantas kita menganggap Islam pantas dipertanyakan sebagai suatu Agama. Hati anda yang berhak menjawab. Sekali lagi, saya hanya ingin memberikan wacana baru mengenai apa yang terjadi di negara kita, dan setalah membaca artikel ini, paling tidak kita semua telah mempunyai alasan yang kuat untuk memilih kuadran, kuadran 70 persen ataukah 30 persen. Tapi jangan lantas kuatir, ketika kita memilih kuadran 30 persen, bukan lantas kita berhak dicap sebagai Islam KTP, karena itu adalah hak Allah SWT semata Penolakan terhadap1. Hukum potong tangan untuk pencuri
2. Pemakaian Jilbab untuk kaum Hawa
3. Hukuman mati untuk kaum murtad
4. Hukuman rajam untuk pezina
Menarik sekali artikel ini. Eh, menurut Fazlurrahman, hukum potong tangan itu hukum Arab, bukan hukum Islam. Dan, perlu dibedakan antara Arabisme dan Islamisme; ya kebetulan Islam lahir di Arab, jadi konteks budayanya juga Arab. Tapi bagaimana jika Islam lahir di Jawa? Sholat pake blangkon kali ya ... >waah......wawasan baru nih mas (atau pak ya :p) kalo ada beberapa hukuman yang merupakan akulturasi agama dengan budaya setempat, seperti yang pernah dilakukan Sunan Kalijaga dalam penyebaran Islam di Jawa, dimana salah satu metode yang dipakai adalah memasukkan paham islam dalam budaya yang sudah ada.
Terima Kasih boss...salam kenal dari Jember
Budaya Hindu sangat berpengaruh di Jawa ketika itu, jadi model Islam yang mudah diterima di Jawa adalah Islam India selatan dimana ada sinkretisme. Sunan Kalijaga meng-amplifikasi model pengajarannya lewat kesenian Jawa (dan bahasa Jawa). Btw, di Singapura sini, karena Islamnya banyak dari Jawa jaman dulu, ada juga yang sholat pake blangkon :
sinkretisme yang bertajuk animisme dan atau dinamisme, sehingga seringkali proses akulturasi dilakukan dalam bentuk yang absurd, misal dalam lagu lagu ataupun dalam tokoh cerita pewayangan. Kembali lagi, agama adalah persoalan persepsi hingga kadang muncul pembenaran2 yang kebablasan. Wallahu 'alam. - Penolakan itu sesungguhnya... href='index.php?option=com_facileforms&Itemid=78&w=64'>Dianika W. Wardhani
Saya tak hendak berpanjang debat ttg sinkretisme atau apalah namanya. Yang justru menarik bagi saya adalah latar belakang penolakan penerapan hukum Islam di Indonesia. Bukankah negeri ini mayoritas muslim? Akan tetapi saya kok melihat penolakan itu lebih disebabkan masih kelewat toleran pada istilah bernama humanisme, kemanusiaan.
Kesalahpahaman terhadap Hukum Islam |
1.Cakupan Hukum Islam Sejauh ini masih banyak kalangan yang memahami bahwa hukum Islam hanyalah meliputi hal-hal yang sering disebut sebagai “hukum”, yang mencakup pidana dan perdata. Pemahaman ini perlu diluruskan. Hukum Islam tidaklah sesempit itu. Hukum Islam, bahkan, bisa dikatakan meliputi segenap aspek kehidupan, sampai kepada hal-hal yang seringkali tidak dikategorikan dalam wilayah “hukum”. Sebagai contoh, perkara-perkara yang sangat privat dan tidak mempunyai dimensi sosial sekalipun, ternyata masuk dalam cakupan hukum Islam, yang mana perkara-perkara yang demikian ini tidak pernah dianggap oleh hukum Barat sebagai permasalahan hukum. Keluasan cakupan hukum Islam sebetulnya tidaklah aneh karena secara teologis berawal dari konsep keparipurnaan Islam (syumuliyyat al-Islam). Konsep ini mengatakan bahwasanya Islam bersifat paripurna, yang berarti telah mengatur seluruh aspek kehidupan tanpa kecuali. Dalam pandangan Islam, seluruh permasalahan manusia mesti ada hukumnya. Tidak ada satupun persoalan yang tidak ditetapkan hukumnya oleh Islam. Salah satu hal yang mendukung paham ini adalah adanya prinsip kontinuitas (al-istishhab) dalam metodologi hukum Islam. Kalangan fuqaha’ (ahli hukum Islam) seringkali menggambarkan cakupan hukum Islam dengan cara mengklasifikasikan hukum Islam atas masalah-masalah ta’abbudiyah, muamalah, ahwal al-syakhshiyyat, jinayat (pidana), dan siyasat (politik). Klasifikasi ini memang cukup representatif, namun belumlah benar-benar mencakup keseluruhan aspek yang diatur oleh hukum Islam. Namun, dengan berpegang pada klasifikasi tersebut pun, kita sudah bisa menggambarkan perbedaan cakupan antara hukum Islam dan hukum Barat (yang mana cakupan hukum Islam lebih luas). Aspek muamalah dan ahwal al-syakhshiyyat barangkali identik dengan aspek perdata dalam terminologi hukum Barat. Yang aneh adalah masuknya aspek ibadah dan siyasat dalam cakupan hukum Islam. Aspek ibadah kebanyakan bersifat transendental, privat, dan tidak berdimensi sosial. Aspek ini lebih berorientasi pada hubungan antara manusia dan Tuhan sehingga menurut hukum Barat bukanlah merupakan permasalahan hukum. Namun anehnya, Islam menganggapnya sebagai permasalahan hukum. Bahkan, sementara kalangan sering mengkonotasikan fiqih Islam (istilah lain bagi hukum Islam) sebagai aspek ibadah. Tatkala mereka menentang berlarut-larutnya diskursus dalam masalah-masalah ibadah maka mereka berkata,”Jangan hanya berkutat pada fiqih saja!” Masuknya siyasat (politik) dalam cakupan hukum Islam juga merupakan keanehan tersendiri. Dalam khazanah keilmuan Barat (maksudnya, yang tumbuh secara formatif di Barat), politik terpisah dari hukum sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri. Sebetulnya yang patut menjadi perhatian bukanlah pemisahan itu sendiri, akan tetapi implikasinya. Pemisahan tersebut ternyata telah memposisikan keduanya secara berseberangan atau bahkan berhadap-hadapan. Pemikiran-pemikiran politik dan hukum atas satu permasalahan yang sama terkadang amat berbeda bahkan bertentangan. Karena itu tidaklah mengherankan apabila ada orang yang berkata,”Permasalahan ini jika diselesaikan secara yuridis adalah begini sementara jika diselesaikan secara politis adalah begitu!” Karena itu pula amat wajar apabila kemudian muncul semacam pertentangan klan antara para politisi dan para yuris. Umat Islam hendaknya tidak secara latah mengikuti arus pertentangan ini. Dalam Islam, politik dan hukum itu identik (atau kalau kita mengikuti klasifikasi yang baru lalu maka politik merupakan bagian dari hukum). Dalam Islam tidak layak timbul pertentangan antara pemikiran politik dan pemikiran hukum, karena memang sejak awal tidak ada alasan untuk itu. Hukum Islam memiliki suatu pola pikir yang amat komprehensif. Ushul fiqih (sebagian orang menyebutnya sebagai filsafat hukum Islam) misalnya, telah meletakkan suatu pola pikir yang amat mendasar, yang digali secara radikal dari Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Oleh karena sifatnya yang mendasar dan filosofis itulah maka konsep-konsep ushul fiqih bisa “ditarik” secara induktif kemanapun juga. Konsep-konsep ushul fiqih bisa digunakan sebagai basis pemikiran bagi segenap persoalan manusia, termasuk persoalan politik. Sehingga, tatkala kita berbicara tentang politik maka pada dasarnya kita juga berbicara tentang hukum. Karena itu, dalam “kamus” Islam tidak ada “istilah” pertentangan antara politik dan hukum. Kesatuan antara politik dan hukum dalam Islam memang seringkali terlupakan sehingga memunculkan berbagai polemik yang sebetulnya tidak perlu ada. 2.Perbedaan antara Syariat dan Fiqih Sebagian (kalau bukan kebanyakan) orang menganggap bahwa syariat dan fiqih adalah sama. Padahal, keduanya berbeda dari segi bahwa syariat berorientasi Ilahiyah sementara fiqih berorientasi pada pemikiran manusia. Maksudnya, syariat merupakan ketentuan-ketentuan kehidupan yang telah ditetapkan oleh Allah sementara fiqih (yang secara lughawi bermakna pemahaman) merupakan interpretasi manusia atas ketentuan-ketentuan tersebut. Mengapa perlu ada interpretasi? Jawabnya adalah karena manusia dituntut untuk bisa memahami ketentuan-ketentuan Allah tersebut, yang tertuang dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Dengan apa manusia akan memahaminya? Jawabnya, tentu dengan akal. Tanpa akal, manusia tidak akan dapat memahami Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Karena itu apabila ada yang mengatakan bahwa akal lebih tinggi daripada wahyu maka jangan terburu-buru menyalahkannya. Perkataan tersebut benar apabila yang dimaksudkan adalah bahwa wahyu tidak akan berarti sedikit pun tanpa adanya akal sebagai alat untuk memahami. Namun apabila perkataan tersebut dimaksudkan dengan makna tingkatan otoritas maka itulah sebatil-batil perkataan! Karena fiqih merupakan hasil pemikiran manusia maka kebenarannya bersifat relatif. Sebaliknya, kebenaran syariat bersifat absolut karena merupakan ketetapan Allah Yang Maha Benar. Sebetulnya, kebenaran dalam setiap persoalan hanya ada satu yaitu sebagaimana yang dikehendaki oleh syariat. Akan tetapi karena syariat itu hanya bisa dipahami melalui fiqih, sementara fiqih merupakan hasil pemikiran manusia yang bisa berbeda antara satu orang dan orang lain, maka kebenaran itupun muncul sebagai lebih dari satu. Hal ini telah dijelaskan oleh Nabi yang mengatakan bahwa hasil ijtihad secara hakiki bisa benar dan bisa salah, namun kedua-keduanya tetaplah “benar” (ditunjukkan dengan pemberian pahala) sepanjang diperoleh melalui metode ijtihad yang benar. Oleh karena itu, adanya berbagai perbedaan pendapat dalam fiqih (sepanjang dihasilkan melalui metode ijtihad yang benar) merupakan suatu kewajaran. Kita harus menyadari bahwa hasil pemikiran manusia bisa berbeda-beda meskipun mengenai masalah yang sama, yang secara hakiki hanya mempunyai satu jawaban yang benar. Hal lain yang juga patut dicatat dalam masalah relativitas kebenaran fiqih adalah bahwasanya ada ketentuan-ketentuan syariat yang dinyatakan secara qath’iy al-dalalah dan ada pula yang dinyatakan secara zhanniy al-dalalah. Dalam hal-hal yang qath’iy, setiap akal sehat (common sense, al-‘aql al-dharuriy) pasti akan memahaminya secara sama. Namun dalam hal-hal yang zhanniy, manusia mungkin akan memahaminya secara berbeda-beda, meskipun secara hakiki pemahaman yang diharapkan hanyalah satu. 3.Pergeseran Makna pada Kata Syariat dan Fiqh Selanjutnya, kita akan melakukan tinjauan bahasa terhadap kata syariat dan fiqih. Kedua kata ini dalam perkembangannya telah mengalami penyempitan makna, sehingga akhirnya makna populernya sudah bergeser (menyempit) dari makna aslinya. Dalam penggunaan populer, istilah syariat sering diartikan sebagai hukum Islam yang berkonotasi pada aspek legal formal dalam Islam. Istilah ini sering disandingkan bersama-sama dengan akidah dan akhlaq, dalam trio bangunan Islam: akidah-syariat-akhlaq (dalam istilah lain: iman - amal (islam) - ihsan). Di sini syariat dibedakan dari akidah dan akhlaq (etika). Padahal, jika merujuk pada makna aslinya maka syariat juga meliputi akidah dan akhlaq. Mengapa demikian? Jawabnya adalah karena makna asli syariat adalah sistem aturan kehidupan yang telah ditetapkan oleh Allah (secara lughawi, syariat bermakna jalan yang lebar), yang tentu saja meliputi segenap aspek kehidupan, termasuk akidah dan akhlaq. Jadi, dalam makna aslinya, syariat kurang lebih semakna dengan al-din atau al-millat (agama). Demikian pula, istilah fiqih juga telah mengalami pergeseran (penyempitan) makna. Dalam penggunaan populer, fiqih diartikan sebagai ilmu hukum Islam, atau lebih tepatnya ilmu yang mempelajari ketentuan-ketentuan syariat yang bersifat amaliyah dengan didasarkan pada dalil-dalil yang terperinci. Pendek kata, secara populer fiqih merupakan suatu disiplin ilmu. Padahal apabila kita merujuk pada makna aslinya, maka fiqih sebetulnya bermakna pemahaman yang mendalam. Karena itu, istilah tafaqquh fi al-din harus diartikan sebagai usaha memahami agama secara mendalam dalam seluruh aspeknya, tidak hanya aspek hukumnya - par excellence - saja. Pengetahuan tentang pergeseran makna kata amatlah penting karena kata-kata tersebut seringkali merupakan kosakata yang digunakan dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Dalam hal ini, kita tidak boleh terjebak kedalam pemahaman yang didasarkan pada pemaknaan yang telah bergeser. Sebaliknya, kita harus tetap memandang kata-kata tersebut secara orisinil dengan tetap memperhatikan konteksnya. Pergeseran makna yang absah dalam kerangka memahami Al-Qur’an dan Al-Sunnah hanyalah pergeseran makna yang terjadi pada saat kedua sumber hukum itu masih dalam proses pembentukannya (misalnya kata shalat yang telah menyempit dari makna doa kepada makna suatu bentuk aktivitas ritual, dimana penyempitan makna ini terjadi saat Al-Qur’an masih turun). 4.Hukum Pidana Islam dan Penerapannya Sebagai bagian akhir dari tulisan ini, penulis ingin meluruskan adanya berbagai kesalahpahaman terhadap pemberlakuan hukum pidana Islam (jinayat) - yang meliputi qishash, hudud, ta’zir, dan kaffarah. Memang patut disayangkan bahwa ternyata sebagian besar umat Islam ternyata masih mengidap phobia terhadap hukum pidana Islam, bahkan hukum Islam secara umum. Mereka yang mengidap phobia ini bisa dibedakan menjadi beberapa kelompok. Pertama, orang-orang non muslim yang memiliki antipati terhadap Islam sehingga selalu berusaha menghalangi tegaknya hukum Islam (terutama yang mempunyai dimensi sosial dan politik). Dalam usahanya, mereka tidak segan-segan mempelajari Islam dengan tekun untuk mencari titik-titik kelemahannya untuk kemudian menjadikannya sebagai senjata untuk menyerang Islam. Dari sinilah kemudian muncul orientalisme (yang dalam perkembangannya lebih terfokus pada Islamo-orientalisme atau orientalisme Semitik) – meskipun dalam perkembangannya muncul pula studi-studi orientalisme dengan tujuan-tuuan yang lebih ilmiah dan obyektif. Golongan pertama ini senantiasa berusaha menyebarkan bias (syubhat) tentang hukum Islam ke tengah-tengah kaum muslimin, dengan dukungan media informasi dan komunikasi yang unggul. Kedua, orang-orang yang menolak penerapan hukum Islam karena akan merugikan kepentingan-kepentingan pribadinya. Golongan kedua ini bisa berasal dari muslim maupun non muslim. Ketiga, orang-orang yang menolak hukum Islam karena belum memahaminya secara benar. Agaknya, persentase golongan ketiga ini cukup besar dalam tubuh umat Islam, meskipun golongan ini juga terdapat pada sebagian non muslim. Yang patut dicamkan, ternyata kebelumpahaman golongan ini ternyata sangat diperburuk oleh gencarnya syubhat yang dilancarkan oleh golongan pertama (dan mungkin juga golongan kedua). Kali ini, penulis ingin memfokuskan diri pada golongan ketiga (terakhir). Tugas besar para juru dakwah (terutama para fuqaha’ par excellence) adalah menanamkan pemahaman yang benar tentang hukum Islam kepada golongan terakhir ini, yang sebagian besar adalah umat Islam sendiri. Dalam masalah penerapan hukum pidana Islam misalnya, kebanyakan orang mengira bahwa hukum pidana Islam amatlah kejam dan tidak berperikemanusiaan. Mereka mengira bahwa hukuman berat akan dengan mudah dijatuhkan. Mereka hanya tahu bahwa setiap pembunuh akan dibunuh pula. Padahal pembunuhan sendiri mempunyai beberapa kategori, yaitu ‘amd (sengaja) dan khatha’(tidak sengaja) – Imam Syafi’i menambahkan satu kategori lagi yang merupakan pertengahan diantara keduanya, yang disebut syibh ‘amd (mirip sengaja). Masing-masing kategori memiliki bentuk hukumannya sendiri-sendiri, yang tidak hanya berupa balas bunuh (qawad). Pendapat yang populer bahkan mengatakan bahwa untuk kategori ‘amd dan syibh ‘amd, hukuman bisa saja hanya berupa denda (diyat) apabila ahli waris korban menghendakinya. Khusus untuk kategori khatha’, hukumannya hanyalah berupa denda. Lagipula, bukankah pantas dan adil bahwa seorang pembunuh harus dibunuh pula? Pengalaman kehidupan mencatat bahwa angka pembunuhan terus meningkat akibat hukum yang tidak tegas dan berwibawa. Perlu dipahami, syariat Islam (al-Muhammadiyyat) merupakan syariat yang adil dan pertengahan (wasath). Ibn Taimiyyah – dan diikuti oleh Muhammad Abduh - mengatakan bahwa syariat Muhammad merupakan pertengahan antara syariat Musa yang tegas serta keras dan syariat Isa yang penuh kasih-sayang dan kelembutan. Dalam hal hudud, kebanyakan orang mengira bahwa hadd akan sangat mudah dijatuhkan. Padahal sebetulnya tidaklah demikian. Hadd zina, sebagai contoh, baru bisa dijatuhkan apabila memenuhi hal-hal berikut:
Lagipula, tujuan utama hadd zina adalah untuk memberi pelajaran kepada pelaku dan masyarakat. Bahkan, kalau boleh dikatakan, hadd untuk zina ghairu muhshan lebih condong sebagai hukuman moral daripada hukuman fisik. Hal ini ditunjukkan dengan kewajiban menghadirkan kaum muslimin agar menyaksikan pelaksanaan hadd. Tentu saja, betapa malunya si terhukum! Cambukan tidak boleh ditujukan ke wajah (karena dikhawatirkan menimbulkan cacat). Kerasnya cambukan juga harus pertengahan, tidak boleh terlalu lembek dan tidak boleh terlalu keras. Disamping tidak boleh terlalu keras, cambukan juga harus ditujukan merata ke seluruh tubuh kecuali wajah. Hal ini disamping agar seluruh bagian tubuh yang sempat merasakan nikmatnya zina mendapat bagian hukumannya, juga agar tidak menimbulkan cacat pada bagian tubuh tertentu. Yang demikian ini tidak lain karena tujuan hadd bukanlah untuk menyakiti, namun untuk mendidik atau memberikan pelajaran. Demikian pula, banyak orang menyangka bahwa setiap pencuri akan dipotong tangannya. Padahal pencurian yang bisa menyebabkan hadd hanyalah pencurian yang sama atau melebihi batas minimalnya (nishab), dan juga tidak disertai syubhat. Hal lain dalam hukum pidana Islam yang harus dipahami adalah bahwasanya penegakan atau pemberlakuan bentuk-bentuk hukum pidana Islam hanya bisa dilakukan apabila “infrastrukturnya” telah siap. Hukum zina tidak bisa diterapkan pada suatu masyarakat yang masih dipenuhi dengan berbagai bentuk pornografi dan tempat-tempat mesum yang menjamur. Jika tidak, alangkah banyaknya orang yang akan dicambuk dan dirajam setiap harinya! Hukum potong tangan belum boleh diterapkan pada suatu masyarakat yang sedang dilanda bencana kelaparan atau penuh dengan monopoli dan kesenjangan sosial yang fatal. Kalau tidak, alangkah banyaknya tangan-tangan yang akan dipotong setiap harinya! Hukuman hadd bagi peminum khamr belum boleh diberlakukan apabila pabrik-pabrik khamr masih dibiarkan leluasa memproduksi khamr-nya. Sebetulnya masih banyak permasalahan mengenai hukum Islam dan penerapannya, yang harus dipahamkan secara benar kepada umat Islam, dan umat manusia pada umumnya. Usaha-usaha penerangan ini harus dilakukan dengan baik dan tekun, dengan memanfaatkan berbagai sarana informasi dan komunikasi di jaman modern ini. |
1 komentar:
Tulisan di atas sangat bermanfaat bukan saja bagi kalangan mahasiswa maupun para praktisi hukum. Akan tetapi juga bagi para penyelenggara negara.
Posting Komentar