I. SEJARAH MUNCULNYA ASY’ARIYAH
Ajaran Asy'ariah muncul setelah umat Islam terbebas dari belenggu kesesatan ajaran Mu'tazilah pada abad ke-3 H.
Ajaran ini dinisbatkan kepada seorang alim bernama Abu Hasan Al-Asy'ari, yang muncul di negeri Bashrah. Pada awalnya Abu Hasan Al-Asy'ari mengikuti madzhab Mu’tazilah, tapi kemudian ia meninggalkan dan menjauh darinya. Penisbatan madzhab kepada Abu Hasan Al Asy'ari telah banyak dipahami oleh negeri – negeri Islam, sebagian ada yang mengikuti pendapat-pendapat Asy'ari yang benar dan sebagian lain mengikuti pendapat-pendapat Asy'ari yang salah di awal keyakinannya.
Penisbatan Asy'ariyah kepada Abu Hasan Al Asy'ari terjadi setelah ia meninggalkan ajaran Mu’tazilah dan mengikuti Ibnu Kilab yang merupakan perjalanan keyakinannya yang kedua.
Mengenai perkembangan madzhab Kilabiyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah telah menerangkan dalam Fatawa-nya: “Bahwa telah muncul di akhir-akhir zaman Abu Abdullah (baca: Ahmad bin Hanbal), madzhab Kilabiyah dan yang lainnya. Mereka adalah pengikut Abu Muhammad Abdillah Bin Sa'id bin Kilab Al-Bashari yang telah mengarang beberapa kitab untuk membantah pemikiran-pemikiran
Jahmiyyah, Mu'tazilah, dan yang lainnya.” Lanjutnya pula : “Adapun di antara pengikut-pengikutnya adalah : Al-Haris Al-Muhasibi, Abu Abbas Al-Palasani, Abu Hasan Al-Asy'ari, Abu Hasan bin Mahdi At-Thabari, Abu Abbas As-Sibgi, Abu Sulaiman Ad-Dimasyqi, dan Abu Hatim Al-Busti yang telah Menetapkan sifat-sifat Allah, menisbatkan kepada Sunnah dan Hadits, serta mengambil pandangan Ahli Hadits.”[1]
Jahmiyyah, Mu'tazilah, dan yang lainnya.” Lanjutnya pula : “Adapun di antara pengikut-pengikutnya adalah : Al-Haris Al-Muhasibi, Abu Abbas Al-Palasani, Abu Hasan Al-Asy'ari, Abu Hasan bin Mahdi At-Thabari, Abu Abbas As-Sibgi, Abu Sulaiman Ad-Dimasyqi, dan Abu Hatim Al-Busti yang telah Menetapkan sifat-sifat Allah, menisbatkan kepada Sunnah dan Hadits, serta mengambil pandangan Ahli Hadits.”[1]
II. TOKOH-TOKOH ASY’ARIYAH
IMAM ABU HASAN AL-ASY'ARI
A. Sejarah Hidup Asy'ari
Nama lengkap beliau adalah Abu Hasan Ali bin Ismail bin Abi Basyar –Ishaq- bin Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin Abi Musa Al-Asy'ari –sahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Nasab Asy'ari berakhir pada sahabat yang mulia, Abu Musa Al-Asy'ari, yang nama beliau adalah Abdullah bin Qais bin Hudhar Al-Asy'ari Al-Yamani. [2]
Para ulama berselisih pendapat tentang tarikh (sejarah) kelahiran beliau. Ada yang mengatakan beliau dilahirkan pada tahun 260 H., ada pula yang mengatakan pada tahun 266 H dan ada pula yang mengatakan pada tahun 270 H. Adapun pendapat yang paling benar adalah pendapat pertama, karena kesesuaiannya dengan perjalanan hidup beliau ketika meninggalkan ajaran Mu’tazilah pada usia yang ke-40 tahun. Pendapat ini juga dikuatkan oleh Khatib Al-Baghdadi dan Ibnu Asakir.
Beliau dilahirkan di negeri Basrah sehingga dijuluki Al-Bashary. Keluarga beliau adalah keturunan sahabat Abu Musa Al-Asy'ari yang tinggal di Madinah. Perihal waktu meninggalnya, ada yang mengatakan pada tahun 320 H, ada pula yang mengatakan pada tahun 330 H, dan ini merupakan pendapat yang paling rajih (paling kuat), sebagaimana dikuatkan oleh Ibnu Asakir.[3]
Menurut pendapat yang paling rajih (paling kuat) Abu Hasan Al-Asy'ari -Rahimahullah- hidup antara tahun 260-324 H. Beliau tinggal di negeri Basrah, Baghdad, dan Irak, yang pada waktu itu berada di bawah kekuasaan pemerintahan Khilafah Abbasiyah hingga jatuhnya kekuasaan Abbasiyah pada tahun 656 H. [4]
B. Aqidah Asy`ari
Sebagaimana telah diketahui, bahwa pada mulanya Asy'ari beraqidah Mu'tazilah, kurang lebih selama empat puluh tahun. Para ulama telah menceritakan tentang kembalinya beliau kepada aqidah yang benar, di mana Abu Hasan Al Asy'ari telah mengurung dirinya di rumah selama lima belas hari, sama sekali tidak pernah keluar menemui orang lain. Maka di hari yang kelimabelas tepatnya hari jum'at, setelah menunaikan sholat beliau naik mimbar dan berbicara di hadapan manusia:
“Wahai sekalian manusia…, barang siapa yang tahu tentang diriku maka dia telah tahu diriku, dan barangsiapa yang tidak tahu tentang diriku maka akan aku kenalkan pada kalian. Aku adalah fulan bin fulan yang dulu telah berkata bahwa Al Qur’an adalah Makhluq, Allah tidak bisa dilihat dengan mata (di akhirat), dan semua pekerjaan buruk akulah yang telah membuatnya. Dan sekarang, aku telah bertaubat dan berlepas diri dari itu semua, dan mulai sekarang aku akan senantiasa menentang semua pemikiran Mu’tazilah. Wahai sekalian manusia…, sesungguhnya aku selama ini tidak menampakkan diri di antara kalian karena aku merasa telah menyimpang dari suatu dalil. Maka aku meminta petunjuk kepada Allah Subhanahu Wata`ala, lalu Allah menunjukkanku kepada suatu keyakinan yang selama ini aku jauh darinya. Dan sekarang aku berlepas diri dari semua keyakinan yang dahulu aku yakini sebagaimana aku berlepas diri dari bajuku ini.” Maka ia pun segera melepas baju yang dipakainya. Hingga ia terus berjalan di atas manhaj Ahlus Sunnah dari kalangan Muhadditsin (Ahli Hadist) dan Fuqaha'.
Dengan kembalinya Abu Hasan Al Asy'ari ke jalan yang benar, maka para ulama Ahlus Sunnah menyambutnya dengan kebahagiaan yang mendalam serta menghormatinya karena telah lepas dari belenggu aqidah yang sesat. Maka semua perkataan dan pemikirannya mulai diarahkan untuk menolak semua ajaran-ajaran Mu’tazilah yang selalu menyelisihi kebenaran.
Dengan demikian, dapat kita simpulkan bahwa Asy'ari telah melewati tiga tahap dalam keyakinannya :
1. Masa I'tizal
2. Penetapan sifat Aqli yang tujuh ; yaitu Al-Hayah, Al-Ilmu, Al-Qudrah, Al-Iradah, As-Sam'u, Al-Basharu Wal Kalam, mentakwilkan sifat Allah Al-Khabariyah, seperti; Al-Wajhu, Al-Yadaini, Al-Qadam, As-Saaq, dan yang lainnya.
3. Mengitsbatkan sifat di atas tanpa takyif dan tasybih, sesuai dengan pandangan salaf sebagaimana termaktub dalam kitab Ibanah. [5]
AL-KILABIYAH PENDAHULU AL-ASY'ARI DAN PANDANGAN SALAF ATAS MEREKA
A. Sekilas Tentang Ibnu Kilab
Nama beliau adalah Abdullah bin Sa’id bin Kilab Al-Qaththan Al-Bashari Abu Muhammad. Dan sering dipanggil dengan Abdullah bin Muhammad, adapun yang lebih terkenal adalah nama yang pertama. Tentang laqab Kilab -seperti khithaf- sebagai tinjauan wajah dan makna, disebabkan kemahirannya dalam berdiskusi, menarik perhatian lawan diskusinya, sebagaimana tertariknya anjing dari sesuatu. Beliau dijuluki Kilab karena selalu menjadikan lawan bicaranya tertarik kepada dirinya dan terpukau dengan keterangan dan balaghahnya. Adapun semua pengikutnya disebut Al-Kilabiyah.
Muhammad bin Ishak An Nadim pernah berkata bahwa Ibnu Kilab pernah berdialog dengan Ubad bin Sulaiman, Ia katakan: “Kalam Allah itu adalah Allah.” Ubad berkata: “Berdasarkan perkataannya ini ia dikategorikan sebagai Nashrani.[6]
B. Pandangan Salaf Atas Al-Kilabiyah
Pandangan Ulama Salaf senantiasa tetap dan semua pendapatnya dibangun di atas pondasi yang kuat. Sikap mereka atas Ahlul Ahwa' tidak akan berubah. Ahlul Ahwa' tidak akan pernah berhenti untuk berbuat kebid'ahan di setiap masanya sehingga Ulama Salaf selalu memberi peringatan dari Ahli Kalam dan Ilmu Kalam yang telah merasuk ke dalam ajaran Jahmiyah, Mu’tazilah, Qadariyah, Rafidlah, dan yang lainnya.
Ajaran Kilabiyah walaupun ada kesamaannya dengan Ahlus Sunnah dalam menolak ajaran Jahmiyah, Mu’tazilah, Rafidlah, dan yang lainnya, tapi ia masih tercampuri oleh ajaran Ahli Kalam dengan beberapa kebid’ahannya, sehingga para salaf tetap mencela mereka dan selalu memberikan peringatan dari perkataan-perkataannya yang bersebrangan dengan Ahlus Sunnah.
Di bawah ini beberapa contoh sikap Salaf terhadap mereka:
Pertama: sikap Imam Ahmad
Beliau hidup semasa dengan ulama-ulama Kilabiyah hingga ia memberi peringatan kepada mereka, dan di antara tokohnya yang terkenal adalah Al-Harits Al-Muhasibi. Imam Ahmad telah mengisolasi dirinya (Al-Harits Al-Muhasibi) karena ia telah terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran Ahli Kalam.
Tapi anehnya As Subki melihat, bahwa sikap Imam Ahmad atas Al-Harits termasuk dalam kaidah 'kalamul Aqran laa yuqbalu qaulu ba'duhum fie ba'din' yang berarti “perkataan seorang sahabat atas sahabat lain yang tidak bisa diterima kesaksiannya”. Tidak diragukan lagi bahwa sebenarnya ka'idah yang disebutkan As-Subki memiliki nilai yang besar dalam ilmu jarh dan ta'dil, tapi akan tidak menjadi sesuai bila diterapkan pada sikap Imam Ahmad, karena beliau mensikapi aqidah Al-Harits yang telah tercampur dengan pemikiran Ahli Kalam.
Bila penerapan kaidah di atas dibenarkan, mengapa banyak sikap penentangan Salaf terhadap orang-orang Mu’tazilah, Rafidlah, Jahmiyah dan Qadariyah yang dibenarkan, dan mengapa As-Subki sendiri tidak mempermasalahkan hal tersebut.
Kedua: sikap Imam Khuzaimah
Pada masa Imam Khuzaimah terdapat dua ulama Kilabiyah yang terkenal, yaitu: Abu Ali Ats-Tsaqafi dan Abu Bakar As-Sibgi.
Abu Ali Ats-Tsaqafi merupakan ulama negeri Khurasan, beliau lahir pada tahun 244 H dan meninggal pada tahun 328 H. Mengenai dirinya, Imam Adz-Dzahabi berkata bahwa ia telah berbeda pendapat dengan Imam Khuzaimah dalam masalah taufiq dan khidlan, dalam masalah iman dan pelafadzannya, sehingga ia mengurung diri di dalam rumah sampai akhir hayatnya.
Adapun Abu Bakar As-Sibgi telah lahir pada tahun 259 H. Ia telah banyak mengarang buku-buku, di antaranya: Kitab Asma' wa Sifat, Kitab Iman, Kitab Qadr, Kitab Khulafa' Arba'ah, Kitab Ru'yah, Kitab Ahkam, dan Kitab Imamah. Ia meninggal pada tahun 342 H.
Kedua ulama di atas termasuk murid dekat Ibnu Khuzaimah, meskipun ia telah menetapkan sifat Allah, tetapi masih mengikuti perkataan Ibnu Kilab bahwa Allah tidak berbicara kalau menghendaki di mana saja, akan tetapi kalam-Nya Ajla'. Ketika Ibnu Khuzaimah mengetahui tentang pemikiran kedua muridnya tersebut, Ia marah atas keduanya dan orang-orang yang mengikuti pemikiran mereka. [7]
II. PENYIMPANGAN - PENYIMPANGAN AQIDAH
Asy’ariyah dalam mengimani sifat-sifat Allah Ta’ala, masih diselimuti oleh keragu-raguan dan penyelewengan-penyelewengan, sehingga sangat tidak mungkin untuk masuk ke dalam madzhab Ahlus Sunnah secara sempurna. Bila Ahlus Sunnah menetapkan suatu masalah, justru mereka menyelisihinya. Hal ini sebagaimana pula terjadi atas Mu’tazilah yang sering ada kesesuaian dengan Ahlus Sunnah dan sering pula berselisih. Begitupun antara Asy’ariyah dan Mu’tazilah ada kesamaannya.
Asya’irah (orang-orang Asy’ariyah) telah membagi sifat Allah dalam lima bagian; Wahdaniyatullah Ta’ala (keesaan Allah), Baqa’ (kekal), Qadam (yang lebih dahulu), Mukhalafatuhu lilhawaditsi (berbeda dengan makhluk-Nya), dan Qiyamuhu binafsihi (berdiri sendiri).
Sebagaimana pula mereka telah membagi sifat Allah menjadi tujuh bagian: Al-Hayat (Hidup), Al-Ilmu (Mengetahui), Al-Qudrah (Kuasa), Al-Iradah (Kehendak), Al-Kalam (Berbicara), As-Sam’u (Mendengar), dan Al-Bashar (Melihat). Yang kemudian sifat tujuh ini dikembangkan oleh Syaikh Maturidiyah menjadi 13 sampai 20 sifat sebagaimana berkembang di Indonesia hari ini.
Pembagian di atas jelas tidak berdasarkan kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, tapi hanya berdasarkan kepada akal semata, padahal akal tidak berhak untuk membicarakannya.
Maka bisa ditarik kesimpulan bahwa Asy’ariyah tidak ada bedanya dengan Mu’tazilah, karena sama-sama menetapkan aqidah dengan prediksi akal, walaupun Asy’ariyah sebenarnya lebih dekat kepada Ahlus Sunnah. Kalau Mu’tazilah, akal merupakan sumber pijakan pertama, adapun Asy’ariyah tidak, hanya saja, apabila ada pertentangan antara nash dan akal, mereka akan lebih mendahulukan akal, dengan istilah laih ‘taqdimu al-aql ala an-naql’.
A. Beberapa Pokok Perbedaan Asy'ariyah dengan Ahlus Sunnah
1. Asy'ariyah tenggelam dalam takwil sifat-sifat Allah yang telah dilarang oleh para salafus shaleh.
2. Mendahulukan akal yang mereka istilahkan dengan kepastian-kepastian akal dari pada Al Kitab dan As Sunnah dalam perkara-perkara ghaib, I'tiqad, dan sifat-sifat Allah.
3. Penafsiran makna tauhid yang dibatasi pada tauhid Rububiyyah dan kelalaian mereka dari tauhid Uluhiyah dan Ibadah.
4. Perbedaan lain antara Asy'ariyah dan Ahlus Sunnah adalah dalam permasalahan Al Qur'an kalamullah, iman, qadar, dan nubuwwah.
B. Syubhat-syubhat Aqidah Asy'ariyah Dan Bantahannya
1. Mengapa mereka tidak berani menetapkan sifat-sifat Allah? Menurut keyakinan mereka, jika menetapkan sifat akan terjadi tasybih (penyerupaan terhadap makhluq). Berdasar kaidah mereka setiap sesuatu yang diberi sifat pasti berjisim (memiliki raga), dan jisim-jisim itu memiliki keserupaan. Jadi kalau Allah diberi sifat akan terjadi tasybih (penyerupaan dengan makhluq). Oleh karenanya mereka menafikan sifat Allah.
Pernyataan mereka tersebut bisa dibantah dengan beberapa alasan:
A. Sesungguhnya ِِِAِِِllah memiliki nama-nama sebagaimana tersebut dalam Al Qur'an dan As Sunnah, demikian juga sifat-sifat-Nya.
Jika dengan menetapkan sifat-sifat Allah takut terjadi tasybih (penyerupaan), semestinya menetapkan nama-nama Allah pun demikian pula. Karena antara nama dan sifat tidak bisa dipisahkan. Kalau dipisahkan berarti tidak ilmiah. Lebih baik menetapkan keduanya atau menafi’kan keduanya. Sebagaimana dilakukan oleh para salaf yang telah menetapkan seluruh asma' dan sifat-sifat Allah. Atau seperti kaum Filosof, Ghulal al Jahmiyah (Jahmiyah ekstrim), dan kaum al Batiniyah yang menolak semua nama dan sifat Allah.
B. Allah mensifati al asma' al husna dan Allah telah memerintahkan untuk berdoa dengan nama-nama-Nya tersebut, sebagaimana tercantum dalam surat Al A'raaf: 180
"وَللهِ اْلأَسْمَآءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ سَيُجْزَوْنَ مَاكَانُوا يَعْمَلُونَ"180
“Hanya milik Allahlah nama-nama yang baik, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaul husna itu.” (QS. Al A'raaf: 180)
Ini menunjukkan bahwa nama (Allah) tersebut mempunyai arti yang agung. Kalau tidak, untuk apa Allah menyuruh berdoa dengan menyebut nama-nama-Nya.
C. Sesungguhnya Allah telah menetapkan nama-nama dan sifat-sifat-Nya bagi diri-Nya, baik secara global maupun terperinci. Tetapi dalam hal ini pun secara tegas Allah menyatakan, bahwa nama-nama dan sifat-sifat-Nya tidak sama dengan makhluk. Allah Ta`ala berfirman :
َليْسَ كَمِثْلِهِ شَيْئٌ “
“Tidak ada satupun yang serupa dengan Dia.” (QS. Asy Syura : 11).
Ayat ini menunjukan bahwa menetapkan sifat tidak berarti tasbih. Kalaupun terjadi tasbih berarti kalam Allah saling bertentangan. Hal ini mustahil terjadi.
D. Kalau Allah tidak mensifati diri-Nya dengan sifat sempurna tentu tak laik jadi Rabb atau Illah. Ingatlah, takala Nabi Ibrahim Alaihis Salam menyindir bapaknya yang menjadikan patung sebagai Rabb yang tidak bisa mendengar dan melihat. informasi ini termaktub dalam Al Qur`an:
“إِِذْ قََالَ ِلأَبِيْهِ يَا أَبَتِ لِمَا تَعْبُدُ مَا َلا يَسْمَعُ وََلاَ يَبْصُرُ وَلَا يُغْنِي عَنْكَ شَيْئًا.”
“Ingatlah ketika ia berkata kepada bapaknya, wahai bapakku, mengapa engkau menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong sedikit pun?”(QS. Maryam: 42( .
Untuk pembahasan ini sebenarnya masih ada lima kupasan lagi, tetapi kami anggap cukup dulu sampai di sini. Selanjutnya bisa dikaji kitab Taqrib at-Tadmuriyyah, Syaikh Muhammad Shalih al Utsaimin, hal. 29-30.
Demikianlah pemikiran Mu’tazilah dalam tauhid asma’ dan sifat, mereka tetapkan hanya berdasarkan akal semata. Kini bagaimana pula kalangan asy’ariyah mengimani tauhid asma’ dan sifat Allah.
Asy’ariyah dan pengikut-pengikutnya seperti Maturidiyah dan lain-lainya dalam mengimani asma’ dan sifat Allah, adalah dengan cara menetapkan nama-nama Allah dan sebagian sifat-Nya serta menafikan sebagian besar. Mereka tolak nash-nash yang mungkin bisa ditolak, dan mereka takwilkan nash-nash yang tidak mungkin atau tidak bisa ditolak.
2. Mereka menetapkan sifat tujuh bagi Allah swt ; Al-Iradah (Berkehendak), Al-Qudrah (Berkuasa), Al-Ilmu (Mengetahui), Al-Hayah (Hidup), Al-Bashrah (Melihat), As-Sam’u (Mendengar) Al-Kalam (Berbicara). Sedangkan sifat Allah yang lainnya mereka tolak atau mereka ta’wilkan.
Syubhat di atas dapat dibantah dengan alasan-alasan sebagai berikut:
A. Sesungguhnya menetapkan asma’ dan sifat dengan akal adalah menyelisihi para salafus-shalih. Maka jika mereka hendak kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, mereka harus menetapkan sifat-sifat dan nama-nama Allah sebagaimana Allah dan Rasul-Nya tetapkan. Yaitu, dengan tanpa tamtsil (menyerupai), ta’thil (menafikan), takyif (menanyakan bagaimana), dan tahrif (menyimpangkan dari makna aslinya).
B. Sesungguhnya mengembalikan permasalahan ini kepada akal, sudah menyalahi akal itu sendiri. Sebab masalah ini termasuk dalam kategori ghaib yang akal tidak mampu untuk mengetahuinya.
C. Bila masalah (gaib) ini dikembalikan kepada akal pasti akan terjadi ikhtilaf (perselisihan) dan berlawanan. Karena setiap orang memiliki akal dan masing-masing berhak untuk berpendapat. Kalau dalam hal ini ada yang mengatakan wajib, maka bisa jadi yang lainnya ada yang mengatakan tidak wajib, karena tidak ada suatu kaidah yang menjadi patokan.
D. Apabila mereka menta’wilkan nash dari makna dhahir kepada makna yang sesuai dengan akal mereka, untuk hal ini perlu dilihat contoh sebagai berikut:
Apabila mereka berkata yang dimaksud tangan Allah itu adalah kekuatan (Al Quwwah) dan bukan tangan yang sebenarnya, dengan alasan jika tangan diartikan tangan sebenarnya, maka akan terjadi tasybih dengan makhluq karena makhluq punya tangan. Mengenai masalah ini perlu dijawab: jika menetapkan quwwah, lantaran tidak berani menetapkan tangan Allah yang sebenarnya, maka sebenarnya sama saja, karena makhluq juga punya sifat quwwah. Jadi kalau menetapkan bagi Allah sifat quwwah berarti batal menurut kaidah anda. Begitu juga dengan sifat yang lainnya, seperti Al Muhyi dan yang lainnya.
E. Sesungguhnya tentang nama dan sifat Allah yang mereka nafikan, dengan kata lain jika ditetapkan akan terjadi tasybih, inipun juga tidak benar. Karena bersamaan dengan nama-nama dan sifat-sifat tidak berarti harus sama dengan yang diberi nama atau yang disifati. Menurut bahasa aqidah hanya qadru al musytarak, artinya sama dalam nama tapi beda dalam makna.[8]
III. PERKEMBANGAN MADZHAB ASY’ARIYAH
Sebenarnya madzhab Ibnu Kilab dalam mensikapi sifat dan kalam Allah satu pendapat dengan madzhab Abu Hasan Al-Asy'ari. Karena Asy'ari termasuk murid Ibnu Kilab, maka perkembangan Asy'ariyah tidak terlepas dari dua hal:
1. Dilihat dari hakikatnya, madzhab Asy'ariyah tidaklah disebabkan oleh Abu Hasan Al- Asy'ari, tetapi lebih disebabkan oleh Ibnu Kilab dan madrasah Al-Kilabiyah.
2. Dilihat dari penamaan madzhab, lebih dikaitkan kepada Abu Hasan Al-Asy'ari dan murid-murid setelahnya.
Maka nampaklah perbedaan antara ulama-ulama setelah Asy'ari yang belajar kepada Ibnu Kilab dengan Asy'ari sendiri beserta murid-muridnya, walaupun mereka sama-sama mengambil perkataan Ibnu Kilab, tetapi itu merupakan pendapat Asy'ari juga. Maka bisa dikatakan, keyakinannya mengikuti Asy'ari, tetapi tidak dinisbatkan kecuali kepada Ibnu Kilab.
- Sebab Penisbatan Madzhab kepada Asy'ari
Dalam hal ini, sesungguhnya perkataan Ibnu Kilab merupakan dasar pijakan madzhab Asy`ariah, walaupun tidak dinisbatkan kepadanya, tetapi kepada Abu Hasan Al-Asy'ari. Penisbatan kepada Abu Hasan Al Asy’ari ini disebabkan oleh beberapa alasan:
1. Bahwa Asy'ari tidak mengikuti orisinilitas (secara murni) ajaran yang dibawa Ibnu Kilab. Walaupun ia mengikuti Ibnu Kilab dalam beberapa ajarannya, tapi bukan berarti mengikutinya dalam semua ajaran yang dibawa Ibnu Kilab.
2. Bahwa Ibnu Kilab Hidup di masa terujinya Ahlus Sunnah di hadapan Mu’tazilah. Maka ketika fitnah Mu’tazilah itu sudah tiada, nampaklah di tengah-tengah umat Islam seorang alim dari kalangan Ahlus Sunnah, yaitu Imam Ahmad. Adapun keberadaan Ibnu Kilab dan para pengikutnya, oleh umat Islam dikategorikan ke dalam kelompok Mu’tazilah dan Jahmiyah. Karena, walaupun mereka memiliki argumen-argumen yang kuat, tetapi masih mencampurkannya dengan kebid'ahan, sehingga kalangan ulama dari Ahlus Sunnah, seperti Imam Ahmad, telah memberikan peringatan kepada mereka. Maka tidak diragukan lagi, bahwa kemampuan Ibnu Kilab untuk mempengaruhi umat Islam sangat terbatas pada masalah tertentu. Adapun Abu Hasan Al-Asy'ari hidup setelah hudu'u-Asifah dan ketika Ahlus Sunnah mendapatkan dukungan terbanyak dari umat Islam dan paling berkuasa. Sehingga ketika Asy'ari membuat bantahan atas pemikiran Mu'tazilah, muncul dukungan dari umat Islam dan ulama Ahlus Sunnah kepada beliau.
3. Perpindahan Asy'ari dari madzhab Mu'tazilah ke pangkuan madzhab Salaf. Padahal Asy'ari termasuk orang yang disegani di kalangan Mu’tazilah sehingga ia termasuk salah satu dari ulamanya. Beliau sangat sering mengadakan pengajaran-pengajaran dan diskusi-diskusi tentang ajaran Mu'tazilah. Beliau pun telah mengarang beberapa kitab yang dijadikan sandaran oleh pengikut-pengikut Mu'tazilah, sehingga beliau katakan bahwasanya tidak ada satu kitab pun yang menandingi kitab tersebut.
4. Banyaknya buku-buku yang ia karang, sehingga tercatat jumlahnya sampai tiga ratus buku. Berbagai pertanyaan pun tidak hanya datang dari kalangan awam, tapi juga dari para alim di masa itu. Sehingga tertulis berbagai macam bentuk karya beliau yang sangat cepat sekali tersebar dan terkenal. Lain halnya dengan Ibnu Kilab yang sangat sedikit sekali memiliki karya-karya tulisan.
5. Besarnya peran murid-murid Asy'ari dalam menyebarkan ajaran Asy'ariyah kepada umat Islam. Qadhi Iyadh berkomentar mengenai Asy'ari :
« Maka ketika tersebar karya-karya dan fatwa-fatwa beliau dan nampaknya pembelaan beliau kepada sunnah-sunnah Rasul, Mulailah para ulama Ahlus Sunnah mengambil pemikiran-pemikirannya dari kitab-kitab yang telah beliau karang … »
B.Sebab-Sebab Berkembangnya Madzhab Asy'ariah
Tidak diragukan lagi bahwa madzhab Asy'ariyah telah berkembang di seluruh penjuru negeri umat Islam, sehingga umat Islam mengira madzhab Asy’ariyah termasuk dari ajaran Ahlus Sunnah. Walaupun sebenarnya banyak kritikan terhadap ulama-ulama Asy'ari, tetapi itu semua muncul dari perdebatan antar madzhab-madzhab yang tidak terlepas dari celaan-celaan dan tuduhan-tuduhan, dan itu semua lebih banyak didominasi oleh hawa nafsu dan fanatisme madzhab, maka kritikan pun tidak lepas dari penambahan atau pengurangan atas suatu kebenaran.
Dan yang perlu dipertanyakan, walaupun madzhab Asy'ariyah masih tercampuri banyak kesesatan dan banyaknya kritikan, tapi mengapa berkembang pesat di kalangan umat Islam? Dan masih banyak dukungan dari kalangan Ulama Fiqh dan Ulama Hadits?
Dalam hal ini, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah memberikan jawaban dengan beberapa alasan:
Pertama, masih banyaknya kandungan kebenaran yang mereka bawa dan banyaknya hadits nabawi yang mereka pegangi.
Kedua, mahirnya dalam membungkus kebenaran dengan qiyas aqli, baik yang bersumber dari ajaran Shabi'ah atau dari sesuatu yang baru dalam Islam.
Ketiga, lemahnya atsar Nabi yang digunakan untuk membendung syubhat-syubhat dan untuk memberi penjelasan menuju jalan yang benar bagi mereka.
Keempat, lemah dan kurangnya dalam ber-intisab (penyandaran) kepada hadits Nabi. Terkadang merawikan hadits yang tidak diketahui kebenarannya, dan terkadang juga seperti orang buta yang tidak mengetahui kandungan Al-Kitab kecuali amani (angan-angan), serta berpaling dari suatu kebenaran yang terdapat dalam Al Kitab dan As Sunnah.[9]
C. Sebab-Sebab Terpenting Berkembangnya Madzhab Asy'ariyah Di Antero Negeri Islam
1. Melemahnya kekuasaan Mu’tazilah di tengah-tengah kejayaan pemikiran Asy'ariyah.
2. Perkembangan madzhab di tengah ibu kota kekuasaan khilafah Abbasiyah di Baghdad. Dan perhatian umat Islam di seluruh pelosok negeri tertuju kepada tempat berkuasanya kekhalifahan yang di dalamnya banyak terdapat para Fuqaha', Ahli Hadits dan Qurro'. Begitu juga Baghdad merupakan salah satu kota terpenting, tempat berkembangnya para ulama untuk mengambil suatu riwayat hadits dan menyampaikan suatu hadits.
Maka ketika kondisi demikian semarak, pertumbuhan madzhab Asy'ariyah semakin pesat seiring dengan banyaknya ulama yang mengambil pendapat-pendapat Asy'ariyah dan disebarkannya ke banyak tempat.
Kondisi demikian sangat bertolak belakang dengan madzhab Maturidiyah, walaupun semasa dengan Asy'ariyah tetapi ajarannya ini muncul di seberang lautan dari Baghdad, maka tentu saja tidak bisa berkembang sepesat madzhab Asy'ariyah.
3. Adanya dukungan dari beberapa amir dan wazir khalifah Abbasiyah terhadap Asy'ariyah. Yang paling terkenal di antaranya : Al-wazir Nidlamul-Mulk, Al-Mahdi bin Tumir, Nurud-ddien bin Mahmud bin Zanky dan Shalahuddien Al-Ayyubi.
4. Banyaknya ulama yang mendukung dan menolongnya, terutama para Fuqaha' Muta'akhirin dari kalangan Syafi'iyyah dan Malikiyyah. Mereka itu di antaranya: Al-Baqlaani, Ibnu Faruq, Al-Baihaqi, Al-Isfirayaini, Asy-Syirazi, Al-zuwaini, Al-Qusyairi, Al-Baghdadi, Al-Ghazali, Ar-Razi, Al-Amidi, Al-Izz Ibnu Abdus-Salam, Badaruddin Ibnu Jama'ah, dan As-Subqi. Mereka tidak hanya sebatas mendukung, bahkan sampai pada taraf menulis buku-buku dan mengajak pada madzhab tersebut.[10]
DAFTAR PUSTAKA
1. Mauqif Ibnu Taimiyah ‘Indal-Asya’irah, Abdurrahman bin Shalih Al-Mahmudi.
2. Siyaru A'lamin Nubala’, Adz-Dzahabi.
3. Furuqun Mu'ashirah, Ghalib bin Ali Awaji.
4. Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyah.
5. Majalah As-Sunnah, edisi: 19, Hal. 22-25,31-38
[1] Mauqif ibnu Taimiyah Indal-Asya’irah: 1/493
[2] Siyaru A'lamin Nubala’: 15/85
[3] Mauqifu Ibnu Taimiyah Indal-Asya'irah: 1/337-338
[4] Mauqifu Ibnu Taimiyah Indal-Asya’irah: 1/493
[6] Siaru a'lamin Nubala': 11/174
[7]Mauqif Ibnu Taimiyah: 1/469
[8] Majalah As-Sunnah, edisi:19 Hal. 22-25,31-38.
[9] Maj'mu' Fatawa': 12/33
[10] Mauqif Ibnu Taimiyah ‘Indal-Asya’irah: 2/493-504
0 komentar:
Posting Komentar