Wajib hukumnya memerangi orang-orang murtad setelah berdiskusi dengan mereka tentang Islam. Jika mereka tetap tidak mau kembali kepada Islam, mereka diperangi sebagaimana orang kafir harbi dalam hal bolehnya menyergap mereka dan menyerang pada waktu malam hari.
Madzhab Hanafi berpendapat:”Apabila sesorang murtad dari Islam maka diterangkan Islam kepadanya, jika ia mengemukakan syubhat maka syubhat tersebut disingkapkan darinya. Karena bisa jadi ia mendapatkan syubhat tentang agama sehingga harus disingkapkan darinya karena ia dihadapkan dengan dua pilihan yang terbaik baginya yaitu dibunuh atau masuk Islam. Namun meneranglan Islam kepadanya hukumnya sunnah dan tidak wajib karena ia telam menerima dakwah sedangkan menerangkan Islam itu adalah menyampaikan dakwah kepadanya dan mendakwahi orang yang sudak menerima dakwah itu tidak wajib akan tetapi sunnah saja. Namun apabila ia minta dikasih tenggang waktu maka disunnahkan kepada hakim untuk memberikan kepadanya tempo tiga hari dan dipenjara tiga hari kalau dia tetap tidak mau kembali kepada Islam makaia dibunuh, berdasarkan firman Alloh :
فاقتلوا امشركين
“Maka bunuhlah orang-orang musyrik.”
Ayat ini memerintahkan membunuh tanpa mensyaratkan untuk memberi tenggang waktu. Dan begitu pula sabda Rosululloh saw.
من بدل دينه فاقتلوه
“Siapa saja yang mengganti agamanya, maka bunuhlah.”
Dan hadits ini tidak menyebutkan harus diberikan kesempatan. Dan juga karena tidak diragukan lagi bahwasanya orang murtad adalah kafir harbi dan bukan orang yang mendapatkan jaminan keamanan karena ia tidak meminta jaminan keamanan dan juga buka kafir dzimi karena ia tidak membayar jizyah, maka wajib dibunuh ketika itu juga tanpa harus memberikan tenggang waktu. Dam meninggalkan suatu kewajiban karena sesuatu yang masih samar itu tidak boleh. Karena dalil-dalil Islam itu jelas dan tidak samar-samarnamun jika diberikan tenggang waktu maka ketika itu Islam tidak menjad samar dengan demikian maka disunnahkan untuk memberikan tenggang waktu.”
Madzhab Syafi’I berpendapat:”Apabila seorang muslim murtad maka imam wajib untuk memberikan kesempatan sampai tiga hari dan ia tidak halal untuk membunuhnya sebelum itu, karena murtadnya seorang muslim itu biasanya disebabkan olas sebuh syubhat,, oleh karena itu ia harus diberikan tempo yang cukup untuk berfikir supaya kebenaran itu dapat ia ahami dengan jelas. Dan kita berikan kesempata tiga hari baik ia meminta atau tidak. Disebutkan dalam kisah Nabi Musa as. Bersama serang hamba yang sholih
أن سألتك عن شيء بعدها فلا تصاحبني
maka ketika ia bertanya untuk yang ketiga kalinya ia berkata kepada nabi Musa:
قد بلغت من لدني عذرا
Dan disebutkan dalam riwayat dari sahabat Umar bin Khothob [1]
Al-Ghozali berkata:”…..kemudian tentang memberikan tempo tiga hari kepada orang murtad ada dua pendapat, jika kita katakan tidak wajib, maka apakah hal itu maksudnya mustahab atau mamnu’, dan jika kita pilah mamnu’ maka jika orang murtad tersebut mengatakan :”Terangkanlah syubhat yang ada pada saya!”maka kita tidak adakan diskusi dengannya pada salah satu dari dua pendapat yang paling benar namun dia harus masuk Islam terlebih dahulu kemudian baru disingkapkan sybhat yang ada padanya.”
Ar-Rofi’I berkata:”…..dan orang murtad disuruh bertaubat dulu sebalum dibunuh, berdasarkan riwayat dari Nabi saw. Bahwasanya beliau menyuruh orang yang murtad untuk bertaubat sebanyak empat kali.” Dan juga Abu Bakar % menyuruh bertaubat perempuan dari Bani Fazaroh untuk bertaubat, dan bahwasanya Umar binKhothob % menyarankan kpada Abu Musa Al-Asy’ari % pada kejadian yang akan kami ceritakan insya’alloh.
Apakah menyuruh bertaubat itu wajib atau sunnah. Dalam hal ini ada sua pendapat:
Yang pertama adalah mustahabbah dan Abu Hanifah berpendapat seperti ini, beliau berdalil dengan sabda rosul &
من بدل دينه فاقتلوه
“Siapa saja yang mengganti agamanya, maka bunuhlah.”
Beliau memerintahkan untuk membunuh tanpa menerangkan untuk menyuruh bertaubat, dan juga bahwasanya orang kafir asli yang kelihatan menentang, ia tidak wajib ntuk disuruh bertaubat terlebih dahulu, maka demikian juga halnya dengan orang murta,. Dan pendapat inilah yang dipilih Abu Huroiroh %
Dan pendapat yang paling benar adalah yang disebutkan oleh Ath-Thobari, Ar-Ruyyani dan yang lainnya, bahwasanya menyuruh bertaubat terlebih dahulu itu hukumnya wajib karena ia perna dimuliakan dengan keislamannya dan kemungkinan ia memiliki syubhat yang harus disingkirkan dan dikembalikan kepada pemahaman semula.
Dan baik pendapat wajib maupn sunnah, dalam memberikan tempo waktu ada dua pendapat:
Pendapat pertama: ia diberi tempo tiga hari; berdasarkan sebuah riwayat yang menyatakan bahwasanya seseorang diutus Abu Musa Al-Asy’ari % kepada Uar bin Khothob %, maka Umar bertanya kepadanya:”Ada kabat apa?” Maka ia menceritakan bahwasanya ada seseorang yang kafir setelah masuk Islam. Maka Umar bertanya :”Lalu apa yang kalian lakukan?” Ia menjawab:”Dia kami panggil lalu kami penggal lehernya.” Maka Umar mengatakan:”Kenapa tidak kalian penjarakan dia selama tiga hari, setiap hari kalian kasih maka roghif dan kalian beri minum supaya ia bertaubat? Ya Alloh aku tidak ada ketika itu dan aku tidak memerintahkannya dan aku tidak ula rela ketika kabar itu sapai kepadaku.”
Pendapat yang paling benar adalah pendapat yang dipilih oleh oleh Al-Mazni bahwasanya ia disuruh bertaubat ketika itu dan jika ia tidak mau bertaubat maka ia dibunuh dan dia tidak diberi tenggang waktu berdasarkan hadits dari Ummu Ruman yang talah lalu.
Pendapat pertama adalah madzhab Malik dan Ahmad, sedangkan riwayat dari Abu Hanifah begitu juga dan ada riwayat lain, bahwasanya orang murtad disuruh bertaubat tiga kali setiap satu jum’at sekali. Dan tidak ada perselisihan bahwasaselama dalam tempo yang di berikan ia tidak dibiarkan bebas akan tetapi dipenjara. Dan juga tidak ada perselisihan bahwasanya jika ia dibunuh sebelum disuruh bertaubat atau sebelum habis temponya tidak ada hukuman apa-apa, meskipun orang yang membunuh itu telah berbuat jahat.”[2]
Tidak boleh berdamai dengan mereka dengan membiarkan mereka tinggal di negeri mereka, dan juga tidak boleh menerima pajak dari mereka dengan tujuan berdamai dengan mereka dengan dengan tetap membiarkan mereka dalam keadaan murtad.
Boleh menjadikan tujuan dalam berperang untuk membunuh mereka oleh karena itu:
qMereka diperangi baik yang menghadapi maupun yang lari.
qBoleh membunuh orang yang terluka dari mereka.
qTawanan dari mereka dibunuh jika tidak mau bertaubat.
qMereka semua yang tidak mau bertaubat dibunuh meskipun tidak mampu berperang.
Hasil harta ghonimah tidak dibagikan kepada pasukan sedang kan harta orang yang masih hidup, jika ia masuk Islam dikembalikan kepada yang punya namun jika tidak maka harta tersebut menjadi fai’
Harta orang yang terbunuh dari mereka menjadi fai’. Begitu pula harta ghonimah yang tidak jelas pemiliknya juga menjadi fai’.
Sedangkan menurut Abu Hanifah harta mereka menjadi ghonimah dan tanah mereka menjadi fai’. Dan menurut Ahmad harta mereka menjadi ghonimah.
Mereka tidak dijadikan budak, namun mereka semua dibunuh baik laki-laki maupun perempuan selama mereka tidak mau bertaubat, berdasarkan sabda Rosululloh:”
من بدل دينه فالتلوه
“Barang siapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah.”
Dan menurut Abu Hanifah wanita mereka dijadikan budak dan dipaksa masuk Islam. Sedangkan anak-anak mereka yang lahir seebelum murtad maka mereka dianggap sebagai orang Islam.
Adapun anak-anak mereka yang lahir setelah murtad maka mereka boleh dijadikan budak sebagaimana anak-anak orang-orang harbi. (Kaji:Al-Ahkam As-Sulthoniyah karangan Al-Mawardi 55-58, Al-Ahkam As-Sulthoniyah karangan Abu Ya’la, Al-‘Uddah Syarhul ‘Umdah 578-582, Al-Kafi IV/155-164, Badai’ushonai’ IX/4382-4396, Hasyiyatu Ibni ‘Abidin III/307-311, Al-Mathba’ah Al-Kubro Al-Amiriyyah dan Al-Mughni VIII/123-106, maktabah Ibnu Taimiyah)[3]
Orang murtad tidak boleh diampuni (dibiarkan hidup) dengan memberikan ganti atas kekafirannya tersebut dengan jizyah atau yang lainnya. Maka ajika penduduk sebuah kota murtad, tidak ada pilihan bagi mreka kecuali taubat atau mati dan mereka tidak boleh dijadikan budak. Dan jika mereka sebuah kelompok yang memiliki kekuatan, maka mereka diperangi dan jika tertangkap maka mereka dibunuh. (Lihat Al-Mabsut X/116, Al-Mughni XII/282, Al-Muharror II/169, Syarhu Minahil Jalil IV/366)
Harta orang murtad
Mazhab Syafi’I, Maliki dan Hambali bersepakat bahwasanya hartanya orang murtad itu dijadikan fai’ untuk baitul mal kaum muslimin, jika aaorang tersebut tetap dalam keadaan murtad sampai ia mati atau dibunuh dan mereka berselisih pendapat pada harta nafkah untuk anak dan istrinya pada waktu ia murtad
0 komentar:
Posting Komentar